Sumber-sumber Akhlak
Tasawuf
1. Sumber-Sumber Akhlak Tasawuf
Perlu diberikan penjelasan lebih dahulu mengapa kitab suci
al-Qur’an dan al-Hadits dijadikan dasar pokok ajaran Islam. Seperri diketahui,
umat Islam memahami dan meyakini agama Islam sebagai agama “wahyu”. Artinya
ajaran agama Islam dibangun dan didasarkan dari hasil pemikiran, penalaran,
perenungan dan semacamnya, melainkan berdasar "wahyu". Wahyu dipahami
dan diyakini umat Islam secara keseluruhan sebagai kalam Allah SWT
(Ucapan Allah SWT) yang tersalurkan pesan-pesan yang dimuat di dalamnya kepada
umat manusia lewat perantaraan utusan Allah SWT. Kalam Allah SWT ini tidak
pernah diintervensi (dicampuri) oleh manusia dalam hal ini para utusan Allah
SWT, baik dari segi substansi materi maupun instrument kebahasaannya. Begitulah
yang diyakini oleh umat manusia secara keseluruhan sepanjang kesejarahannya.
Sementara itu, penjelas dalam rangka implementasi konkret kalam Allah SWT
tersebut dalam kehidupan nyata sehari-hari umat manusia, utamanya umat Islam,
maka pada ucapan, perbuatan dan persetujuan (taqrir) utusan Allah SWT
dalam hal ini Rasulullah Muhammad SAW, yang disebut al-Hadits. Secara ringkas,
al-Hadits merupakan jabaran fungsional-praktikal dari al-Qur'an yang
menyebabkan al-Qur’an jadi living (hidup) dalam praktek kehidupan, terutama pada masa Rasulullah SAW hidup.
Sementara itu pula metode dan prosedur untuk memahami muatan al-Qur’an disebut
ilmuTafsir.
Oleh karena ajaran Islam memiliki dasar pokok berupa Qur’an dan
al-Hadits, maka dengan sendirinya Akhlak Tasawuf yang menjadi bagian dari hasil
pemahaman terhadap ajaran Islam itupun sumbernya juga harus dari al-Qur’an dan
al-Hadits.
2. Sumber Al-Qur’an dan Al-Hadits
a. Sumber Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut bahasa berarti “bacaan” atau yang dibaca. Al-Qur’an
adalah masdar yang diartikan dengan ism maf’ul yaitu maqru berarti yang
dibaca.
Menurut istilah ahli syara’ al-Qur’an ialah wahyu Allah SWT yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat bagi beliau, wahyu itu
diturunkan dalam bahasa Arab dan disampaikan kepada masyarakat ramai secara
mutawatir, baik dengan lisan maupun tulisan, dan orang yang membaca wahyu
mendapat pahala dari Allh SWT.
Allah SWT menurunkan al-Qur’an secara berangsur-angsur, sehingga
penurunan seluruhnya memakan waktu selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari, yakni
mulai dari malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW hingga
tanggal 9 Dzulhijjaah hari haji wada’ tahun ke 10 H, atau tahun 63 dari hari
kelahiran Nabi. Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat dan 6236 ayat. Sedang
kalimatnya menurut hitungan sebagian ahli 74434 dan hurufnya 325345 huruf.
Semuanya dinukilkan kepada manusia secara mutawatir.
Sebagai patokan hukum agama Islam, Al-Qur’an di dalamnya terdapat
nash-nash yang juga mengupas tentang akhlak tasawuf.
Istilah Akhlak Tasawuf terdiri dari dua kata yaitu, akhlak dan
tasawuf. Berikut ini akan dipaparkan sumber dari al-Qur’an mengenai akhlak dan
tasawuf.
1) Akhlak
Dalam al-Qur’an kata yang berkaitan dengan akhlak diantaranya
adalah surat as-Syu’ara’ ayat 137, yang berbunyi:
إِنْ هَذَا إِلَّا خُلُقُ الْأَوَّلِينَ
Artinya: (Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan
orang-orang dahulu.
Lalu dalam surat al-Qalam ayat 4 berbunyi:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah orang yang
berakhlak sangat mulia.
Dua ayat ini, baik dilihat dari asal kata dan muatan kata, dapat
dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa istilah akhlak memang terdapat dalam
al-Qur’an. Hanya saja bila dilihat dari konteks ayat, terdapat perbedaan muatan
akhlak di dalamnya. Dalam surat as-Syu’ara ayat 137 istilah akhlak diartikan
sebagai “adat kebiasaan buruk” dari seorang umat nabi Hud AS., sedangkan
istilah akhlak yang termuat dalam surat al-Qalam ayat 4 adalah dalam konteks
budi pekerti yang agung atau luhur” dari sosok nabi Muhammad SAW. Berdasarkan keterangan tersebut, maka akhlak
dapat disebut “akhlak yang baik” dan juga disebut “akhlak yang buruk”.
2) Tasawuf
Istilah tasawuf secara eksplisit
kebahasaan tidak pernah disebut dalam al-Qur’an. Sebagian besar ulama tasawuf
sepakat bahwa masalah tasawuf tersebut secara implisit (tersirat) dan termuat
dalam istilah “zuhud”. Sementara itu istilah zuhud ( ) yang berarti orang yang tidak merasa
tertarik terhadap sesuatu, hanya terdapat satu kali ditulis dalam al-Qur’an
yaitu dalam surat Yusuf ayat 20:
وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ
وَكَانُواْ فِيهِ مِنَ الزَّاهِدِينَ
Artinya: Dan mereka menjual yusuf
dengan harta yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka (anggota
kafilah dagang) itu tidak merasa tertarik hati mereka terhadapnya (Yusuf).
Dari cara penelusuran payung ayat
seperti di atas, maka banyak konsep dalam ajaran Tasawuf (yakni ajaran tasawuf
yang telah disistem menjadi sebuah disiplin ilmu fann al-‘ilm) yang
dicari-carikan paying ayatnya dalam al-Qur’an, sekedar contoh yang dikutipkan
dari beberapa kata kunci mengenai maqam (terminal ruhani), antara lain
kata-kata kunci: taubat, sabar, faqr, zuhud, tawakkal, mahabbah, ma’rifah,
ridha dan sebagainya.
Kata kunci “taubat” antara lain di
dasarkan pada Surat al-Baqarah ayat 222:
إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya : . . . .Seseungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan Dia menyukai orang-orang yang
menyucikan diri.|
Kata kunci “sabar” antara lain
didasarkan pada surat al-Mu’min atau Ghafir ayat 55 yang berbunyi:
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ
Artinya: Maka bersabarlah engkau, karena sesungguhnya
janji Allah itu benar.....
Kata kunci “Faqr”' dikaitkan dengan
surat Thaha ayat 2:
مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى
Artinya: Kami tidak menurunkan
al-Qur’an ini kepadamu agar menjadi sengsara.
Kata kunci “tawakkal” dikaitkan
dengan surat ath-Thalaq ayat 3 berbunyi:
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Artinya: ....dan barang siapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.
Kata kunci “mahabbah” dikaitkan
antara lain dengan surat Ali Imran ayat 31:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
Artinya: Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan Dia akan
mengampuni dosa-dosamu....”
Kata kunci “ma’rifah” dikaitkan
antara lain dengan surat Qaf ayat 16:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ
مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya: Dan sesungguhnya kami
telah menciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya,
dan Kami lebih dekat dengannya daripada urat lehernya.
Yang terakhir kata kunci “ridla”
dikaitkan dengan surat al-Maidah ayat 119:
رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ
ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: ....Allah ridla terhadap
mereka dan merekapun ridla terhadap-Nya; itulah keberuntungan yang sangat
besar.
Mencermati contoh-contoh ayat di
atas, maka dalam peristilahan maqam ada beberapa kata kunci yang dari
asal kata-katanya memang dapat dirujukan pada al-Qur’an, seperti kata kunci
“taubat” (Surat al-Baqarah ayat 222), “sabar” (Surat al-Mu’min/Ghafir ayat 55),
“zuhud” (Surat Yusuf ayat 20), “tawakkal” (Sura at-Thalaq ayat 3), “mahabbah”
(Surat Ali Imran ayat 31), “ridla” (Surat al-Maidah ayat 119). Sementara itu
kata kunci “faqr” (Surat Thaha ayat 2) dan kata kunci “ma’rifah” (Surat Qaf
ayat 16) dipahami secara implisit terhadap muatan pesan ayat-ayat tersebut.
Selain itu kandungan al-Qu’an juga
memuat ajaran-ajaran tasawuf, antara lain:
a)
Memperbaiki
aqidah dan meluruskan aqidah umat yang sudah rusak binasa oleh kehendak nafsu
buruk.
b)
Menetapkan
aturan-aturan hukum dalam hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan
sesamanya dan manusia dengan benda.
c)
Membersihkan
hati, sehingga haluan hidup tampak dengan jelas. Karena hati yang telah bersih
akan menumbuhkan perangai-perangai yang terpuji dan akhlak yang mulia. Allah
SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ
مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاء لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
Artinya:
Hai manusia telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan pernyembah bagi
penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman.
Al-Qur’an
ini yang menjadi sumber pertama dan utama dari tasawuf Islam. Dari al-Qur’an
ini dapat digali pelajaran-pelajaran untuk menjadi obat hati dan penawar jiwa
yang sedang menderita penyakit-penyakit riya’, hasad, takbur, ujub dan
sebagainya.
d)
Kandungan
al-Qur’an yang lain ialah kisah-kisah umat purbakala seperti kaum ‘Ad, Tsamud
dan lain-lain, atau kisah-kisah pribadi seperti kisah para Rasul, Khidir, Dzul
Qarnain dan sebagainya yang semuanya itu
untuk menjadi wa’ad dan wa’id atau menjadi targbib
yang menggemarkan orang berbuat taat dan menakuri mereka dari berbuat jahat.
Yang juga patut dicatatkan di sini dalam kaitannya dengan pencarian sumber
dalam ayat-ayat al-Qur’an ini adalah bahwa nampaknya para shufi (pelaku
kehidupan thasawuf) lebih merasa mantap jika dasar aktifitas ketasawufan mereka
itu dapat didukung dalam al-Qur’an. Sebabnya adalah bahwa sumber dalam
ayat-ayat al-Qur’an itu kewibawaannya dianggap lebih tinggi dari pada
diambilkan dari al-Hadits, misalnya. Kemantapan seperti ini antara lain
disebabkan al-Qur’an oleh seluruh umat Islam tidak diragukan lagi kebenarannya,
baik dari segi susunan kebahasaan, redaksi dan isi pesannya. Sementara itu
keshahihan al-hadits masih perlu dikoreksi. Sebab, harus diakui tidak semua
hadits adalah shahih, baik itu dari sudut sanad (periwayatan dari satu
periwayat kepada periwayat yang lainnya) ataupun dari sudut matan (wujud teks
hadits yang bersangkutan). Bahkan ada hadits yang digolongkan palsu (maudlu’).
Karena itu al-Qur’an menjadi sumber pertama sedangkan al-Hadits menjadi sumber
kedua, apabila dalam al-Qur’an belum dijelaskan secara terang maka rujukan
keduanya adalah al-Hadits.
b. Sumber Al-Hadits
Sumber hukum ini berarti merujuk terhadap Sunnah Nabi yang disebut
dengan al-Hadits. Menurut etimologi bahasa, as-Sunnah berarti jalan yang harus
dijalani. Menurut ahli Syara’, Sunnah ialah jalan yang dijalani dalam bahasa,
karena telah biasa dijalani oleh Rasulullah SAW, dan para ulama salaf yang
salih sesudah wafat Rasul SAW.
Sunnah itu ada kalanya qauliyah yaitu, segala yang
diucapkan oleh Nabi SAW, adakalanya Sunnah bersifat fi’liyah, yaitu
segala yang diperbuat Nabi Saw untuk syariat, adakalanya taqririyah,
yaitu segala perbuatan sahabat di hadapan Nabi atau Nabi melihat orang
mengerjakan sesuatu tanpa teguran dari beliau. Dan adakalanya Sunnah itu tarkiyah
yaitu suatu perbuatan yang mungkin dilaksanakan oleh Nabi, tetapi beliau tidak
mau mengerjakannya.
Istilah Sunnah ini kemudian lebih
biasa dipakai dengan istilah Hadits. Hadits (Sunnah) adakalanya shahih dan
adakalanya dha’if. Hadits shahih ialah yang mempunyai sanad yang tersambung
sampai kepada Nabi Saw, semua sanadnya tidak cacat dan matan haditsnyapun tidak
bertentangan dengan al-Qur'an. Adapun Hadits yang dla'if adalah kebalikan dari
yang shahih.
Dalam kedudukannya sebagai sumber, Hadits atau As-Sunnah mendapat
tempat sesudah al-Qur’an, hal ini sesuai dengan bunyi hadits:
Artinya: Aku tinggalkan padamu dua pedoman, sekali-kali kamu tidak
akan sesat sesudahnya selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
(HR. Malik).
Pada penjelasan Hadits ini akan diuraikan sumber-sumber dari
al-Hadits yang berkaitan dengan akhlak tasawuf.
1) Akhlak
Istilah akhlak yang dikaitkan dengan al-Hadits memang ada
dasarnya. Di sini akan dikutipkan beberapa hadits yang secara eksplisit
menyinggung istilah akhlak tersebut sebagai berikut:
Nabi berkata:
Artinya:
Bahwasannya aku dibangkitkan (diutus) adalah untuk menyempurnakan
keluhuran akhlak. (HR. Baihaqy).
Hadits lain menyebutkan:
Artinya :
Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang mukmin yang
paling baik akhlaknya (H.R.Tirmidzi).
Pesan yang dimuat oleh kedua hadits di atas adalah searah, yaitu
bahwa masalah akhlak sangat dipentingkan berkaitan dengan masalah kerisalahan
(keutusan) Nabi Muhammad Saw dan juga berkaitan dengan masalah keimanan
(keyakinan teguh bagi seluruh manusia Islam.
2) Tasawuf
Berkaitan dengan sumber dari al-Hadits mengenai tasawuf, semua
ulama tasawuf hampir sepakat mengatakan bahwa istilah tasawuf belum pernah
dikenal dalam hadits-hadits Rasulullah Muhammad SAW. Justru yang diperkenalkan
oleh Rasulullah Saw adalah istilah ihsan. Salah satu potongan hadits
yang berbicara tentang ihsan menyatakan sebagi berikut:
Artinya:
(Tamu Rasulullah) bertanya: Wahai
Rasulullah, apakah yang disebut ihsan? Nabi menjawab: Hendaknya engkau
menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak dapat
melihat-Nya, ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia melihatmu (HR. Muslim)
Jika direnungkan secara mendalam, sebenarnya ajaran ihsan
ini sudah sangat mendalam. Di sini sudah ditekankan adanya unsur kesadaran dan
penghayatan ketuhanan. Allah Swt seolah-olah sebagai pengontrol pada prilaku
manusia dan sekaligus sangat dekat dengan manusia dalam kehidupannya. Sayangnya
istilah dan konsep ini tidak dikembangkan lebih lanjut oleh para ulama Islam
sampai tingkat pelaksanaan teknis. Malahan mengintroduksi istilah baru yang
diberi nama “tasawuf”. Tetapi begitulah kenyataan kesejarahan umat Islam yang
harus diakui, walaupun sebenarnya getir menerimanya.
Al-Qur’an memang layak menjadi sumber muatan ajaran Akhlak
Tasawuf, Sebab, muatan al-Qur’an pada hakekatnya adalah dunia akhlak. Bahkan
ada sebutan yang dinyatakan oleh Siti Aisyah bahwa akhlak Nabi Muhammad Saw
adalah “akhlak al-Qur’an”. Sementara Nabi menyampaikan bahwa kebangkitannya
menjadi seorang Rasul adalah juga dalam kerangka besar penyempurnaan akhlak.
Pernyataan Rasul tersebut dikuatkan oleh al-Qur'an:
Artinya :
Sungguh adalah dalam diri Rasulullah itu bagimu sebagai suri
tauladan yang baik (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) Hari Akhir dan dia banyak menyebut Allah.
Pada hakekatnya akhlak yang dibangun oleh al-Qur’an adalah akhlak
yang mendapat pencerahan berdasar prinsip ihsan, yang bagi penyuka
istilah tasawuf disebut akhlak tasawuf. Jika disiplin menurut peristilahan
al-Qur’an dan al-Hadits, maka istilah yang lebih tepat adalah akhlak ihsan.
Sosok Nabi Muhammad yang dijadikan sumber keteladanan akhlak
tasawuf (akhlak ihsan) adalah segala tindakan nabi yang menyangkut kerisalahan
(kerasulan), bukan yang bersifat basyariyah (biologis). Tindakan Nabi
yang bersifat basyariyah ini misalnya gaya berjalan, gaya berlari, cara
berkedip, macam suara (intonasi suara), cara tersenyum dan sebagainya. Ini
semua adalah pembawaan lahir. Sementara itu, yang berkaitan dengan kerisalahan
(kerasulan) menyangkut norma atau aturan yang dituntunkan oleh Allah Swt lewat
kalam-Nya (wahyu). Disitulah baru terjadi proses uswatun
khasanah (keteladanan yang baik). Pribadi dalam konteks kerisalahan (kerasulan)
yang senantiasa disinari oleh wahyu inilah yang memungkiikan Nabi
Muhammad SAW memiliki sifat ma’shum (terjaga dari prilaku ma’siyat)
atau prilaku yang keluar dari garis kerisalahannya). Dapat dibayangkan betapa
berat diri Nabi dalam membina dan mempertahankan dirinya sebagai sosok yang
uswatun khasanah yang senantiasa harus terjaga dari prilaku ma’siyat (sifat ma’shum)
itu. Hanya orang-orang yang benar-benar terpilih dan manusia pilihan saja yang
sanggup memikul tugas seperti ini.
By Dosen Pengampu : Nur Hidayat, M. Ag
Tidak ada komentar:
Posting Komentar