Aklak, Etika dan Tasawuf
A. Pengertian Akhlak
Secara etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq dalam bentuk jama’,
sedang mufradnya adalah khuluq Selanjutnya makna akhlak secara etimologis
akan dikupas lebih mendalam.
Kata khuluq (bentuk mufrad
dari akhlaq) ini berasal dari fi’il madhi khalaqa yang dapat
mempunyai bermacam-macam arti tergantung pada
mashdar yang digunakan. Ada beberapa kata Arab seakar
dengan kata al-khuluq ini dengan perbedaan makna. Namun karena ada kesamaan akar kata, maka berbagai makna tersebut tetap saling berhubungan. Diantaranya adalah kata al-khalq
artinya ciptaan. Dalam bahasa Arab kata al-khalq artinya menciptakan
sesuatu tanpa didahului oleh sebuah contoh, atau dengan kata lain menciptakan
sesuatu dari tiada. Dan yang bisa melakukan hal ini hanyalah Allah, sehingga
hanya Allahlah yang berhak berpredikat Al-Khaliq atau Al-Khallaq
sebagaimana yang diungkapkan dalam QS. al-Hasyr ayat 24
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ
الْمُصَوِّرُ
dan QS. Yasin ayat 81 yang berbunyi
بَلَى وَهُوَ الْخَلَّاقُ
الْعَلِيمُ
Disamping itu masih ada arti lain
yaitu, pertama mereka-reka/merekayasa, misalnya dalam QS. Al-Mu’minun ayat 14
فَتَبَارَكَ
اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
diartikan Maha Suci Allah Sang
Perekayasa yang terbaik, dan QS. Al-Ankabut ayat 17 yang berbunyi
وَتَخْلُقُونَ إِفْكاً
diartikan ...dan kalian mereka-reka
bohong. Kedua, al-din (agama) misalnya QS. Al-Nisa ayat 119
فَلَيُغَيِّرُنَّ
خَلْقَ اللّهِ
diartikan ...maka mereka benar-benar
merubah ciptaan (agama) Allah (yang berupa hukum-hukum-Nya). Ketiga, rusak,
misalnya artinya memakaikan pakaian rusak. Arti lain yang hampir mirip dengan al-khiluq
adalah kata khalaqa yang artinya bergaul dengan orang lain, seperti
ungkapan syair:
(Artinya: Pergaulilah orang lain
dengan pergaulan yang baik, Jangan seperti anjing yang menggonggongi orang).
Kemudian kata al-khalaq yang diartikan bagian yang baik, seperti
disebutkan dalam
al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 102
مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ
خَلاَقٍ
diartikan: Dan tidak ada baginya
bagian yang baik di akhirat (nanti).
Arti-arti di atas mempunyai
konsekuensi logis dalam penggunaan kata al-khuluq yang diartikan budi
pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Sehingga dapat dijelaskan al-khuluq
(budi pekerti) mengandung segi-segi penyesuaian dengan makna di atas. Oleh
karena itu, al-khuluq itu sifatnya diciptakan oleh si pelaku itu
sendiri, dan ini bisa bernilai baik (ahsan) dan buruk (qabih)
tergantung pada sifat perbuatan itu. Kemudian al-khuluq itu bisa
dianggap baik dengan syarat memenuhi aturan-aturan agama. Sifat al-khuluq
itu tidak hanya mengacu pada pola hubungan kepada Allah, namun juga mengacu
pada pola hubungan dengan sesama manusia serta makhluk lainnya. Bila khuluq seseorang
itu baik maka ia akan mendapatkan kebaikan (kebahagiaan) di akhirat nanti.
Selanjutnya kata al-khuluq
ini juga mengandung segi-segi penyesuaian dengan perkataan al-khalaq
yang berarti ciptaan serta erat hubungannya dengan kata al-Khaliq yang
berarti pencipta, dan perkataan makhluq yang berarti yang diciptakan. Perumusan
pengertian tersebut timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik
antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk
lainnya. Sehingga pola-pola hubungan ini menjadi pembahasan ruang lingkup
akhlak.
Inilah ciri khusus kata akhlak dalam
bahasa Arab yang digunakan untuk menyebut perangai manusia dalam kajian bahasa (etimologi).
Sementara itu dari sudut terminologi
(istilah), ada banyak pendapat yang mengemukakan istilah akhlak. Diantaranya
adalah yang dikemukakan Al-Ghazali:
Artinya: Akhlak adalah suatu
sifat yang tertanam dalam jiwa dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan
mudah dan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Maka bila sifat itu
memunculkan perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan syariat maka sifat itu
disebut akhlak yang baik, dan bila yang muncul dari sifat itu perbuatan-perbuatan
buruk maka disebut akhlak yang buruk.
Pengertian di atas memberikan
pemahaman bahwa al-khuluq disebut sebagai kondisi atau sifat yang
terpatri dan meresap dalam jiwa sehingga si pelaku perbuatan melakukan sesuatu
itu secara sepontan dan mudah tanpa dibuat-buat, karena seandaianya ada orang
yang mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang sekali untuk dilakukan
(mungkin karena terpaksa atau mencari muka), maka bukanlah orang tersebut
dianggap dermawan sebagai pentulan kepribadiannya. Sifat yang telah meresap dan
terpatri dalam jiwa itu juga disyaratkan dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan
dengan mudah dan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi.
Ibnu Maskawih memberikan definisi
senada mengenai istilah khuluq sebagai berikut:
Artinya: Khuluq ialah keadaan
gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan
pemikiran.
Dijelaskan pula oleh Ibnu Mskawaih
bahwa keadaan gerak jwa tersebut meliputi dua hal. Yang pertama, alamiah dan
bertolak watak, seperti
adanya orang yang mudah marah hanya karena masalah
yang sangat sepele, atau tertawa berlebihan hanya karena suatu hal yang biasa
saja, atau sedih berlebihan hanya karena mendengar berita yang tidak terlalu
memprihatinkan. Yang kedua, tercipta melalui kebiasaan atau latihan. Pada
awalnya keadaan tersebut terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun
kemudian menjadi karakter yang melekat tanpa dipertimbangkan dan dipikirkan
masak-masak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan
manifestasi iman, Islam, dan ihsan yang merupakan refleksi sifat dan jiwa
secara spontan yang terpola pada diri seseorang sehingga dapat melahirkan
perilaku secara konsisten dan tidak tergantung pada pertimbangan berdasar
interes tertentu. Sifat dan jiwa yang melekat dalam diri seseorang menjadi
pribadi yang utuh dan menyatu dalam diri orang tersebut sehingga akhirnya
tercermin melalui tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari bahkan menjadi adat
kebiasaan. Oleh karena itu secara singkat Ahmad Amin menyatakan:
Artinya: Khuluq ialah
membiasakan kehendak.
Yang dimaksud dengan ‘adah ialah perbuatan yang dilakukan
berdasarkan kecenderungan hati yang selalu diulang-ulang tanpa pemikiran dan
pertimbangan yang rumit; sedangkan yang melakukan dengan iradah ialah menangnya keinginan untuk
melakukan sesuatu setelah mengalami kebimbangan untuk menetapkan pilihan
terbaik diantara beberapa alternatif. Apabila iradah sering terjadi pada
diri seseorang, maka akan terbentuk pula pola yang baku, sehingga selanjutnya
tidak perlu membuat
pertimbangan-pertimbangan lagi, melainkan secara langsung melakukan tindakan
yang sering dilaksanakan tersebut. Definisi yang terakhir ini mendukung dua
definisi di atas dengan penjelasan secara rinci tentang pembiasaan kehendak.
Dimana Zakki Mubarak menegaskan bahwa arti kehendak itu adalah sesuatu yang membangkitkan
hati pada apa yang ia ketahui yang sesuai dengan tujuan, baik itu tujuan
sementara ataupun tujuan yang akan datang.
Kembali pada masalah akhlak yang
dibatasi sebagai suatu kondisi atau sifat yang tertanam dalam jiwa manusia.
Keadaan atau sifat ini bisa merupakan watak atau pembawaan sejak lahir, seperti
pemarah, penakut, mudah risau, pemberani, dermawan dan sebagainya, dan bias
merupakan hasil pembiasaan atau latihan yang kadang-kadang sumber asalnya
dengan mempertimbangkan dan berpikir tentang perbuatan yang akan dilakukan
kemudian berlangsung terus menerus sehingga sedikit demi sedikit sifat itu
meresap dalam jiwa dan menjadi akhlak. Dan memang harus diakui bahwa manusia
dilahirkan dengan membawa seperangkat watak, ada yang berwatak baik, berwatak
buruk dan ada pula yang berwatak diantara baik dan buruk. Watak-watak tersebut
turut menentukan bentuk akhlak seseorang disamping faktor pembiasaan dan
latihan tadi.
Dalam pembahasan tentang akhlak
sering muncul beberapa istilah yang bersinonim dengan akhlak, yakni istilah
etika dan moral.
Berikut ini akan dikupas pengertian
etika dan moral.
1) Etika
Etika, seperti halnya dengan istilah
yang menyangkut ilmiah lainnya berasal
dari bahasa Yunani kuno yaitu, ethos. Kata ethos dalam bentuk
tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak perasaan, sikap dan cara berpikir.
Dalam bentuk jamak taetha artinya adalah adat kebiasaan. Dan arti inilah
yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah “etika” yang oleh filosuf
besar Yunani, Aristoteles (384-322 sM) sudah dipakai sebagai filsafat moral.
Jika dilihat dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, etika dijelaskan
dengan membedakan tiga arti: 1) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan dan masyarakat, 2)
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak, 3) ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Dari ketiga pengertian ini dapat dijelaskan secara unit beserta contoh-contohnya. Pertama, etika dipakai dalam
arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya.
Misalnya etika Budha, etika Islam, Etika Nasrani dan
lain-lain. Secara singkat arti ini dapat
dirumuskan sebagai sistem nilai. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau
nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik.
Misalnya beberapa tahun yang lalu Departemen Kesehatan Republik Indonesia
menerbitkan sebuah kode etik untuk seluruh rumah sakit di Indonesia yang diberi
judul “Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI)”. Ketiga, etika mempunyai arti
sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Etika bisa dikatakan ilmu bila
kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai yang dianggap baik atau
buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat sering kali tanpa
disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis.
Etika disini sama artinya dengan filsafat moral. Dalam pengertian ketiga inilah
umumnya definisi etika diberikan.
Berikut ini adalah definisi etika
dalam pengertian pertama, yaitu nilai mengenai benar dan salah yang dianut
suatu golongan dan masyarakat. Di dalam New Master Pictorial Encyclopedia
dikatakan: ethics is the science of moral philosophy concerned not with
fact, but with value; not with the character of, but the ideal of human conduct.
Dengan kata lain, etika adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai
fakta, melainkan tentang nilai-nilai dan moral berkaitan dengan tindakan
manusia, melainkan tentang idenya.
Sementara itu, dalam Dictionary of Education disebutkan bahwa Ethics;
the study of human behaviour not only to find the trurth of things
as they are, but also to enquire into the worth or goodness of human actions. Selanjutnya dirumuskan sebagai berikut
the science of human conduct, concerned
with judgment of obligation (tightness or wrongess, oughtyness) and
judgment of value (goodness and badness).
Dengan kata lain, bahwa etika adalah ilmu tentang tingkah laku manusia yang
berkenaan dengan ketentuan tentang kewajiban yang menyangkut masalah kebenaran
kesalahan, atau keputusan, serta ketentuan tentang nilai yang menyangkut
kebaikan maupun keburukan.
Kedua definisi di atas mengarah pada
pembahasan etika dalam pengertian ilmu yang menjadi topik pembahasan filsafat
yang dalam obyeknya mengandalkan rasionalisasi akal pikkan. Sehingga etika
sebagai salah satu cabang filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia untuk
menentukan nilai perbuatan baik dan buruk, maka ukurannya adalah akal pikiran.
Atau dengan kata lain, melalui akal orang dapat mementukan nilai baik dan
buruknya perbuatan. Dikatakan baik karena akal menentukannya baik, dan sesuatu
dianggapnya buruk karena akal menentukannya buruk. Sehingga akal merupakan sumber
dasar etika. Disinilah yang membedakan etika dengan yang lainnya. Dengan
demikian tidak salah bila dirumuskan bahwa etika adalah ilmu yang menyelidiki
mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia
sejauh mana yang diketahui oleh akal pikiran.
Berdasarkan pengertian di atas,
secara sederhana etika dapat digunakan dalam dua pengertian, yaitu pengertian
empiris dan filosofiis. Pegertian empiris ini berdasarkan pada penelitian
psikologis dan sosiologis tentang perbuatan manusia yang termotivasi oleh perasaan, kemauan dan
pengaruhnya terhadap orang lain. Dan inilah yang biasa disebut etika praktis
yang berhubungan dengan prilaku individu maupun kolektif. Sedangkan pengertian
filosofis ini merupakan hasil kontempelasi tentang apa yang disebut baik maupun
buruk, apa yang boleh dilakukan dan yang dilarang. Sehingga tujuannya adalah
untuk menjelaskan norma-norma atau keputusan-keputusan perbuatan manusia
tentang nilai-nilai moral, yang sering dianggap sebagai etika teoritis. Etika
dalam filsafat dibatasi sebagai filsafat tentang moral, yaitu mengenai
kewajiban manusia serta tentang yang baik dan yang buruk, sehingga ia berfungsi
menjawab pertanyaan mengenai bagaimana hak orang yang mengharapkan orang lain
tunduk terhadap suatu norma dan orang dapat menilai norma itu. Karena etika
mempunyai sifat dasar kritis, maka ia juga berfungsi untuk mempersoalkan norma
yang berlaku. Etika dapat mengantar orang kepada kemampuan untuk bersikap
kritis dan rasional, untuk membentuk pendapatnya sendiri dan bertindak sesuai
dengan apa yang dipertanggungjawabkannya sendiri. Hal ini didukung oleh
pendapat Franz Magnis Suseno bahwa, Etika dapat menjadi alat pemikiran rasional
dan bertanggung jawab bagi si ahli ilmu masyarakat, pendidik, politikus dan pengarang,
serta bagi siapa saja yang tidak diombang-ambingkan oleh kegoncangan
norma-norma masyarakat sekarang. Karena etika adalah pemikiran sistematis
tentang moralitas, maka yang dihasilkannya secara
langsung bukanlah kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis.
Dengan demikian sangat jelas, bahwa
etika sangat mendasarkan diri pada kemampuan akal pikiran dalam menentukan baik
dan buruk, dan tentunya jelas berbeda dengan istilah moral yang meskipun obyek
dan arti etimologinya sama.
2) Moral
Bila kata etika berasal dari Yunani
kuno, maka moral ini berasal dari bahasa Latin, yaitu jamak dari mose
yang berarti adat kebiasaan. Kedua istilah ini kadang-kadang
digunakan dalam pengertian yang sama, karena memang istilah moral dapat
disimpulkan bahwa artinya sama dengan etika dalam pengertian nilai-nilai dan
norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam suatu
masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya dikatakan bahwa perbuatan
orang tersebut tidak bermoral. Dengan demikian yang dimaksudkan adalah
perbuatan orang itu dianggap melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang
berlaku dalam masyarakat.
Sebaliknya bila dikatakan orang itu
bermoral, maka artinya orang tersebut telah mematuhi nilai-nilai dan
norma-norma yang dipegangi oleh masyarakat yang menilainya. Sehingga
contoh-contoh di atas memberikan kesan bahwa term moral itu selalu berkonotasi
positif. Padahal sebetulnya pengertiannya tidak
sesempit itu karena secara harfiah moral itu
diartikan adat kebiasaan manusia dalam berperilaku maka ia bisa berkonotasi
positif maupun negatif, bisa baik dan bisa buruk tergantung sifat perbuatan
itu.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
dalam Dictionary of Education, bahwa moral ialah a term used to
delimit those characters, traits, intentions, judgments, or acts which can
appropriately, be designated as right, wrong, good, bad. Karena moral itu
merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas
manusia dengan nilai baik atau buruk, benar atau salah, maka moral ini lebih
terlihat praktis, dan merupakan penjabaran dari nilai yang diyakini sebagai
suatu identitas yang memberikan corak khusus kepada pola pemikiran, perasaan,
keterikatan dan perilaku. Artinya istilah moral ini membutuhkan tolok ukur yang
digunakan. Kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan
manusia (baik atau buruk) dengan tolok ukur akal pikiran, maka dalam pembahasan
moral tolok ukurnya adalah norma-norma yang hidup dalam masyarakat, yang dapat
berupa adat istiadat, agama dan aturan-aturan tertentu. Dalam hal ini Hamzah
Ya’qub mengatakan bahwa yang disebut moral adalah sesuai dengan ide-ide umum
tentang tindakan manusia mana yang baik dan yang wajar.
Senada dengan Hamzah Ya’qub, secara
detail dalam Ensiklopedi Pendidikan disebutkan bahwa moral adalah nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara
nilai hidup (moral) juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menunjukan baik
dan buruk. Maka untuk mengukur tingkah laku
manusia (baik dan buruk) dapat dilihat dari
penyesuaiannya dengan adat istiadat yang umum diterima masyarakat, yang
meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Karena itu dapat dikatakan,
baik atau buruk yang diberikan secara moral hanya bersifat lokal. Inilah yang
membedakan antara etika dan moral. Perbedaan lain antara etika dan moral adalah
etika lebih banyak bersifat teoritis, sedang moral lebih banyak bersifat
praktis, etika memandang tingkah laku manusia secara universal (umum),
sedangkan moral secara lokal, etika menjelaskan ukuran yang dipakai, moral
merealisasikan ukuran itu dalam perbuatan.
3) Perbedaan Akhlak, Etika
Dan Moral
Istilah akhlak, etika dan moral
sering digunakan dalam konotasi yang sama dalam percakapan sehari-hari,
sehingga seolah-olah tak ada bedanya. Padahal ketiga istilah tersebut mempunyai
pengertian yang berbeda-beda. Hal ini dapat dimaklumi karena ketiganya
mempunyai obyek yang sama, yakni baik dan buruk.
Perlu dibedakan antara akhlak
sebagai perilaku, yang sudah dipaparkan
di atas, dan akhlak sebagai ilmu. Akhlak sebagai ilmu dapat dianalogikan dengan etika sebagai ilmu yang
pembahasannya menjadi isu filsafat. Salah satu
pengertian ilmu filsafat yang cukup mewakili
adalah ungkapan Ahmad Amin yang mengatakan bahwa ilmu akhlak ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang
kepada orang lain, menyatakan tujuan yang
harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan
melakukan apa-apa yang harus diperbuat. Pengertian di atas hampir tidak ada
bedanya dengan pengertian etika, sehingga
kadang-kadang disamakan antara ilmu akhlak dan
etika. Namun jika diteliti secara seksama, maka sebenarnya antara keduanya
mempunyai segi-segi perbedaan. Sedangkan pada etika dan moral yang
membedakan adalah pada tolok ukurnya.
Jika dalam etika untuk menentukan nilai perbuatan manusia (baik atau buruk)
dengan tolok ukur akal pikiran maka dalam pembahasan moral tolok ukurnya adalah
norma-norma yang hidup dalam masyarakat, yang dapat berupa adat istiadat, agama
dan aturan-aturan tertentu.
Inti pengertian di atas adalah harus
ada seperangkat nilai yang mengatur manusia untuk berbuat sesuatu untuk
mencapai tujuan, yaitu kebaikan tertinggi (summon banum) yang dalam
teori etika tolok ukurnya adalah akal pikiran secara universal tanpa memandang
ia hidup di mana dan kapan, serta memeluk agama apa. Sedangkan dalam akhlak
(dalam hal ini adalah akhlak Islam) merupakan seperangkat nilai untuk
menentukan baik dan buruk tolok ukurnya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah.
Bagi umat Islam al-Qur’an dan
as-Sunnah merupakan way of life untuk mengatur segala perilakunya,
sehingga segala perilakunya tidak boleh lepas dari keduanya. Hal ini tidak
berarti manusia tidak bebas memilih yang dalam pembahasan akhlak atau etika
merupakan unsur utama yang harus dipertimbangkan karena suatu perbuatan dapat
dinilai itu harus ada kebebasan. Namun seseorang yang sudah menentukan
pilihannya untuk memeluk Islam yang artinya berserah diri dan tunduk pada
kemauan Allah, akan terikat pada sistem nilai-nilai Islam. Sebaliknya bila
seseorang menentukan pilihannya pada yang lainnya, ia akan terikat dengan sistem nilai-nilai lain,
karena tak ada konsep bebas yang mutlak kecuali hanya milik Allah yang tak
terikat ruang dan waktu.
Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa akhlak Islam adalah sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan
manusi di atas bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran Islam dengan
al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber nilainya serta ijtihad sebagai metode
berpikirnya. Pola sikap dan tindakan yang dimaksud mencakup pola hubungan
dengan Allah, sesama manusia (termasuk dengan dirinya sendiri) dan alam. Pola
hubungan dalam akhlak Islam ini saling berhubungan sehingga orang dapat
dikatakan berakhlak mulia apabila ia baik hubungannya dengan Allah, dengan
sesama manusia maupun dengan makhluk lainnya.
B.
Ruang Lingkup Akhlak
Dalam membahas persoalan ruang
lingkup akhlak, Kahar Masyhur menyebutkan bahwa ruang lingkup akhlak meliputi
bagaimana seharusnya seseorang bersikap terhadap penciptaannya, terhadap sesama
manusia seperti dirinya sendiri, terhadap keluarganya, serta terhadap
masyarakatnya. Disamping itu juga meliputi bagaimana seharusnya bersikap
terhadap makhluk lain seperti terhadap malaikat, jin, iblis, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan.
Ahmad Azhar Basyir menyebutkan
cakupan akhlak meliputi semua
aspek kehidupan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individu,
makhluk sosial, makhluk penghuni, dan yang memperoleh bahan kehidupannya dari
alam, serta sebagai makhluk ciptaan Allah. Dengan kata lain, akhlak meliputi
akhlak pribadi, akhlak keluarga, akhlak sosial, akhlak politik, akhlak jabatan,
akhlak terhadap Allah dan akhlak terhadap alam.
Dalam Islam akhlak (perilaku)
manusia tidak dibatasi pada perilaku sosial, namun juga menyangkut kepada
seluruh ruang lingkup kehidupan manusia. Oleh karena itu konsep akhlak Islam mengatur
pola kehidupan manusia yang meliputi:
1) Hubungan antara manusia
dengan Allah Seperti akhlak terhadap Tuhan
2) Hubungan manusia dengan
sesamanya
Hubungan manusia dengan sesamanya meliputi hubungan seseorang
terhadap keluarganya maupun hubungan seseorang terhadap masyarakat.
a)
Akhlak terhadap keluarga yang meliputi: akhlak terhadap
orang tua, akhlak terhadap isteri, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak,
dan akhlak terhadap sanak keluarga.
b)
Akhlak terhadap masyarakat yang meliputi: akhlak terhadap
tetangga, akhlak terhadap tamu, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak,
dan akhlak terhadap sanak keluarga.
3) Hubungan manusia dengan
lingkungannya
Akhlak terhadap makhluk lain seperti akhlak terhadap
binatang, akhlak terhadap tumbuh-tumbuhan, dan akhlak terhadap alam sekitar.
4) Akhlak terhadap diri
sendiri
C.
Dasar-Dasar Akhlak
a. Al-Qur'an
وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah orang yang berakhlak sangat
mulia. (QS. Al-Qalam:4).
Pujian Allah ini bersifat individual
dan khusus hanya diberikan kepada Nabi Muhammad karena kemuliaan akhlaknya.
Penggunaan istilah khulukun ‘adhim menunjukkan
keagungan dan keanggunan moralitas Rasul, yang dalam hal ini adalah Muhammad
SAW. Banyak Nabi dan rasul yang disebut-sebut dalam Al-Qur’an, Tetapi hanya
Muhammad SAW yang mendapatkan pujian itu. Dengan lebih tegas Allah pun
memberikan penjelasan secara transparan bahwa akhlak Rasulullah sangat layak
untuk dijadikan standar modal bagi umatnya, sehingga layak untuk dijadikan
idola yang teladani sebagai uswah hasanah,
melalui firman-Nya:
Artinya:
Sungguh bagi kamu pada diri
Rasulullah itu terdapat suritauladan yang baik …
b.
Al-Hadits
Dalam ayat al-Qur’an telah diberikan
penegasan bahwa Rasulullah
merupakan contoh yang layak ditiru dalam segala sisi kehidupannya. Disamping itu, ayat tersebut juga
mengisyaratkan bahwa tidak ada satu
“sisi-gelap” pun yang ada pada diri Rasulullah, karena
semua isi kehidupannya dapat ditiru dan diteladani. Ayat diatas juga mengisyaratkan bahwa Rasulullah sengaja
diproyeksikan oleh Allah untuk menjadi panutan
ideal bagi akhlak umat manusia secara universal,
karena Rasulullah diutus sebagai “penyempurna
akhlak manusia”. Hal ini didukung pula
dengan hadits yang berbunyi:
Artinya: Sesungguhnya
saya ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa karena akhlak menempati
posisi kunci dalam kehidupan umat manusia, maka substansi misi Rasulullah itu
sendiri adalah untuk menyempurnakan akhlak seluruh umat manusia agar dapat
mencapai akhlak yang mulia. Yang menjadi persoalan di sini adalah bagaimana
substansi akhlak Rasulullah itu. Dalam hal ini, para sahabat pernah bertanya
kepada isteri Rasulullah, yakni Aisyah r.a. yang dipandang lebih mengetahui
akhlak rasul dalam kehidupan sehari-hari, maka Aisyah menjawab:
Artinya: Substansi akhlak Rasulullah
itu adalah al-qur’an.
Dari jawaban singkat tersebut
diketahui bahwa akhlak Rasulullah yang tercermin lewat semua tindakan,
ketentuan, atau perkataannya senantiasa selaras dengan al-qur’an, dan
benar-benar merupakan praktek nyata dari kandungan al-Qur’an. Semua perintah
dilaksanakan, semua larangan dijauhi, dan semua isi al-qur'an didalaminya untuk
dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
D.
Tujuan Akhlak
Tujuan akhlak adalah mencapai
kebahagiaan hidup umat manusia dalam kehidupannya, baik di dunia maupun
akhirat. Jika seseorang dapat menjaga kualitas mu’amalah ma’allah dan mu’amallah
ma’annas, insya Allah akan memperoleh ridha-Nya. Orang yang mendapat rida
Allah niscaya akan memperoleh jaminan kebahagiaan hidup baik duniawi maupun
ukhrawi.
Seseorang yang berakhlakul
karimah pantang berbohong sekalipun terhadap diri sendiri dan tidak pernah
menipu apalagi menyesatkan orang lain. Orang seperti ini biasanya dapat hidup
dengan tenang dan damai, memiliki pergaulan luas dan banyak relasi, serta
dihargai kawan dan disegani siapapun yang mengenalnya. Ketenteraman hidup orang
berakhlak juga ditopang oleh perasaan optimis menghadapi kehidupan ukhrawi
lantaran mua’amalah ma’alahnya sudah sesuai dengan ketentuan Allah
sehingga tidak sedikitpun terbetik perasaan khawatir untuk “mampir” di neraka.
Ketenteraman dan kebahagiaan hidup
seseorang tidak berkorelasi positif dengan kekayaan, kepandaian, atau jabatan.
Jika seseorang berakhlak al-karimah, terlepas apakah ia seorang yang
kaya atau miskin, berpendidikan tinggi atau rendah, memiliki jabatan tinggi,
rendah, atau tidak memiliki jabatan sama sekali, insya Allah akan dapat
memperoleh kebahagiaan.
E.
Urgensi Akhlak
Saat ini kita berada di tengah
pusaran hegemoni media, revolusi iptek tidak hanya mampu menghadirkan sejumlah kemudahan dan
kenyamanan hidup bagi manusia modern, melainkan juga
mengundang serentetan permasalahan dan kekhawatiran.
Teknologi multimedia misalnya, yang berubah begitu
cepat sehingga mampu membuat informasi cepat
didapat, kaya isi, tak terbatas ragamnya,
serta lebih mudah dan enak untuk dinikmati. Namun,
di balik semua itu, sangat potensial untuk mengubah cara hidup seseorang, bahkan dengan mudah dapat merambah ke
bilik-bilik keluarga yang semula sarat norma susila dan norma susila.
Kita harus kaya informasi dan tak
boleh ketinggalan, jika tidak
mampu dikatakan tertinggal. Tetapi terlalu naif rasanya jika mau mengorbankan
kepribadian hanya untuk mengejar informasi dan hiburan. Disinilah akhlak harus berbicara, sehingga mampu menyaring
“ampas negatif “ teknologi dan menjaring saripati
informasi positif.
Dengan otoritas yang ada pada akhlakul
karimah, seorang akan berpegang kuat pada komitmen nilai. Komitmen nilai
inilah yang dijadikan modal dasar pengembangan akhlak, sedangkan fondasi utama
sejumlah komitmen nilai adalah akidah yang kokoh, akhlak, pada hakekatnya
merupakan manifestasi akidah. Akidah yang kokoh berkorelasi positif dengan akhlakul
karimah.
Mencermati Fenomena aktual di tengah
masyarakat kita dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa sebagian hegemoni
media secara umum, hegemoni televisi terasa lebih memunculkan dampak negatif
bagi kultur masyarakat kita. Tidak dipungkiri adanya dampak positif dalam hal
ini, meski terasa belum seimbang dengan “pengorbanan” yang ada.
Televisi yang sarat muatan
hedonistis menebarkan jala untuk menjaring pemirsa dengan berbagai tayangan
yang seronok penuh janji kenikmatan, keasyikan, dan kesenangan. Belum lagi penayangan
film laga yang berbau darah, atau iklan yang mengeksploitasi aurat. Adanya
sekat-sekat kultur dipandang tidak relevan di era global ini, sehingga sensor
dipandang sebagai sesuatu yang aneh dan tidak diperlukan lagi. Menghadapi
fenomena seperti ini hanya satu tumpuan harapan kita, yakni pembelajaran akhlak melalui keluarga,
sekolah, dan masyarakat.
Adanya fenomena yang harus
dicermati dan dicarikan solusi. Munculnya mall
di kota-kota besar, satu sisi membuat orang betah berbelania di ruang-ruang
sejuk yang sarat dengan dagangan tertata rapi dan warna-warni, tetapi disisi
lain sebagian mall mulai difungsikan untuk mejeng
bagi ABG dan mencari sasaran “pasangan sesaat” dengan imbalan materi maupun
kepuasan badani. Menghadapi kenyataan ini gerakan bina moral serentak untuk
menanamkan akhlakul karimah serasa tidak dapat ditunda lagi.
Belum lagi munculnya tempat hiburan
malam yang dilengkapi dengan minuman keras serta peredaran obat-obat terlarang
yang merusak moral generasi muda. Menghadapi persoalan ini di samping perlunya
pengawasan orang tua terhadap putera-puterinya di rumah disertai contoh yang
baik dalam berakhlakul karimah juga diperlukan tindakan represif dari
aparat terkait. Upaya menumbuhkembangkan akhlakul karimah merupakan
taggung jawab bersama, yakni keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat.
Keempat institusi tersebut memiliki tanggung jawab bersama untuk
mendarahdagingkan akhlakul karimah, terutama di kalangan generasi muda.
Munculnya fenomena amukan massa di
beberapa kota besar yang ditandai dengan pembakaran pusat pertokoan,
penghancuran tempat ibadah, bahkan perusakan kantor polisi. Untuk menghindari
terulangnya serangkaian peristwa amukan tersebut, di samping perlu dicari akar
masalahnya dan diselesaikan, fenomena tersebut hendaknya dijadikan pemicu
gerakan pendidikan moralitas bangsa, dengan menjadikan akhlakul karimah
sebagai acuan utama.
Urgensi akhlak semakin terasa jika
dikaitkan maraknya aksi perampokan, penjambretan, penodongan, korupsi, manipulasi,
dan berbagai upaya untuk cepat kaya tanpa kerja kerjas. Untuk mengatasi semua kenyataan tersebut dilakukan tindakan represif melalui penanaman akhlakul
karimah. Tanpa upaya prefentif, segala bentuk upaya represif
tiak akan mampu menyelesaikan masalah karena semua pelaku kejahatan selalu patah tumbuh hilang berganti.
Serangkaian fenomena tersebut merupakan dampak negatif dari
modernitas yang ada di tengah-tengah kita. Hidup di era global ini tidak
memungkinkan untuk melarikan diri dari kenyataan
modernitas. Modernitas tidak perlu dijauhi, karena kesalahannya
tidak terletak pada modernitasnya itu sendiri, tetapi pada tingkat komitmen
nilai dari moralitas bangsa dan umat dalam merespon arus modernitas yang semakin seulit dibendung.
Di dalam menyongsong kemajuan zaman,
bangsa Indonesia harus memiliki moral kualitas unggul. Bangsa yang unggul dalam
perspektif Islam adalah bangsa yang berakhlakul karimah. Hal ini selaras
dengan sabda Rasulullah:
Artinya: Sesungguhnya yang paling
unggul di antara kamu adalah orang yang paling baik akhlaknya. (H.R. Bukhari).
Bahkan dalam hadits lain Rasulullah
bersabda:
Artinya: Yang disebut bagus adalah
bagus akhlaknya. (H.R. Muslim).
F.
Kakteristik Akhlak Dalam Ajaran Islam
Islam memiliki dasar-dasar
konseptual tentang ahklak yang komprehensif dan menjadi karakteristik yang
khas. Di antara karakteristik tersebut adalah:
a. Akhlak meliputi hal-hal yang bersifat umum dan terperinci.
Di dalam Al-Qur’an ada ajaran akhlak yang dijelaskan secara
umum, tetapi ada juga yang diterangkan secara mendetail. Sebagai contoh, ayat
yang menjelaskan masalah akhlak, secara umum adalah Q.S. An-Nahl (16):90 yang
menyuruh perintah untuk berakhlak secara umum: Untuk berbuat adil, berbuat
kebaikan, melarang perbuatan keji, mungkar, dan permusuhan. Sedangkan contoh
ayat yang menjelaskan masalah akhlak secara terperinci adalah Q.S. Al-Huujurat
(49):12 yang menunjukkan larangan untuk saling mencela, serta memanggil dengan
gelar yang buruk.
b. Akhlak bersifat menyeluruh
Dalam konsep Islam, akhlak meliputi seluruh kehidupan muslim,
baik beribadah secara khusus kepada Allah maupun dalam hubungannya dengan
sesama makhluk seperti akhlak dalam mengelola sumber daya alam, menata ekonomi,
menata politik, kehidupan bernegara, kehidupan berkeluarga, dan bermasyarakat.
c. Akhlak sebagai buah iman
Akhlak memiliki karakter dasar yang berkaitan
erat dengan masalah keimanan. Jika iman dapat diibaratkan akar sebuah pohon,
sedangkan ibadah merupakan batang, ranting dan daunnya, maka akhlak adalah
buahnya. Iman yang kuat akan termanifestasikan oleh ibadah yang teratur dan
membuahkan akhlakul karimah. Lemahnya iman dapat terdeteksi melalui indikator tidak teftibnya ibadah dan
sulit membuahkan akhlakul karimah.
d. Akhlak menjaga konsistensi dengan tujuan
Akhlak ridak membenarkan cara-cara mencapai
tujuan yang bertentangan dengan syariat sekalipun dengan maksud untuk mencapai
tujuan yang baik. Hal tersebut dipandang bertentangan dengan prinsip-prinsip ahklakul
karimah yang senantiasa menjaga konsistensi cara mencapai tujuan tertentu
dengan tujuan itu tersendiri.
G.
Akhlak Karimah
Akhlak al-karimah adalah akhlak yang terpuji atau akhlak yang
mulia di mata Allah Swt. Akhlak yang terpuji ini merupakan implementasi dari
sifat dan prilaku yang baik dalam diri manusia. Akhlak al-karimah dapat
dilihat dari sifat, tingkah laku maupun perbuatan nabi Muhammad Saw.
Nabi Muhammad SAW tercatat dalam
tinta emas sejarah sebagai pembawa perubahan dunia yang paling spektakuler,
sebagai suri tauladan umat manusia. Hanya dalam waktu 23 tahun Muhammad telah
berhasil mendekonstruksi seluruh kehidupan umat manusia yang sarat kezaliman
dan kebiadaban, kemudian merekonstruksinya menjadi sebuah kehidupan yang sarat
nilai luhur. Pada masa kelahiran Rasulullah dikenal sebagai zaman jahiliyah
atau zaman kebodohan. Sekalipun pada masa itu bangsa arab telah memiliki
kebudayaan tinggi bahkan memiliki tingkat kecerdasan rata-rata, tetapi
moralitas etika kehidupan mereka sangat rendah. Hanya dalam waktu yang relatif
singkat, Muhammad SAW telah mampu membangun moralitas dunia arab atas
puing-puing jahiliyah, bahkan mampu membangun peradaban Islam yang akhirnya
melebar ke beberapa penjuru dunia.
Rasulullah yang mengorbankan
revolusi Islam telah berhasil membawa kemenangan gemilang, meski tidak
menyadarkan kekuatan pada perlengkapan perang yang canggih maupun strategi
perang yang jitu. Semua kesuksesan perjuangan Rasulullah tersebut lebih banyak
ditopang oleh kearifan, keberanian, kesadaran dan keadilan yang didorong oleh
semangat menegakkan akhlak al-karimah.
Dengan akhlak, Rasulullah telah
memenuhi kewajiban dan menunaikan
amanah. Rasulullah mengajak umat manusia untuk bertauhid dan menjauhkan umat
dari syirik. Di samping itu, Rasulullah menghargai kepercayaan dan keyakinan
orang lain juga dengan akhlak. Dengan akhlak pula Rasulullah menghadapi musuh
di medan perang dan membangun negara. Lebih dari itu, Rasulullah dalam kondisi
apapun dan berhadapan dengan siapapun senantiasa mempraktekkan akhlak
al-karimah secara nyata dan konsisten.
Semua orang yang pernah mengenalnya
tidak satupun yang tidak mengagumi perilaku dan akhlaknya, sekalipun ia seorang
yang kafir. Kalaupun para pemuka kafir Quraisy membenci Muhammad dan
memburunya, adalah semata-mata karena gerakan dakwahnya yang dipandang
“subversif” karena dianggap telah berbuat makar terhadap “ilah” mereka yakni
dewa-dewa dan patung-patung yang mereka sembah dan muliakan.
Dalam kehidupan
berkeluarga, Muhammad telah menunjukkan diri sebagai kepala rumah
tangga yang tanpa cacat dalam pandangan semua anggota keluarga, masyarakat
sekitarnya, bahkan dalam pandangan semua umatnya. Semua gerak langkah adat kebiasaannya, bahkan
keputusan-keputusannya terdokumentasikan
dalam sunnah rasul dan diteladani oleh semua umatnya akhir zaman.
Dalam bidang politik Muhammad Saw
telah mampu menunjukkan
“kelasnya” sebagai politikus terkemuka, semua keputusan dan langkah politiknya mengindikasikan muatan akhlakul karimah. Hal
tersebut tercermin melalui kemampuannya untuk
meredam konflik antar etnis serta fiksi yang bermuara pada pluralitas, serta penampilannya sebagai sosok demokrat
sejati yang mampu mengakomodasi aspirasi dan
potensi ummat.
Melalui telaah historis dapat
diperoleh serangkaian fakta bahwa sejak masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa
tidak diperoleh adanya fakta yang menunjukkan bahwa Muhammad Saw pernah
melakukan suatu tindakan yang agak tercela, apalagi tercela. Bahkan lingkungan
dimana saja beliau berada sepakat memberinya gelar al-amin, yang berarti
orang yang terpercaya. Gelar ini diberikan setelah melampaui ujian panjang
dalam kehidupannya yang tidak pernah ada cacat kebohongan sama sekali, bahkan
selalu diwarnai kejujuran dan kesantunan.
Akhlak Nabi, yang mencakup sifat,
ucapan dan prilakunya adalah cerminan akhlak yang baik (akhlak al-karimah),
sehingga beliau menjadi suri tauladan bagi umatnya di seluruh dunia.
Sebagaimana dalam firman Allah Swt :
Artinya: Sungguh bagi kamu pada diri Rasulullah
itu terdapat suri tauladan yang baik .…
By dosen pengampu : Nur
Hidayat, M. Ag.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar