Perkembangan Kemandirian Peserta Didik
A.
Pentingnya
Kemandirian bagi Peserta Didik
Pengembangan
kemandirian menjadi sangat penting karena dewasa ini semakin terlihat
gejala-gejala negatif berikut ini:
1. Ketergantungan
disiplin kepada kontrol dari luar dan bukan karena niat sendiri secara ikhlas.
Dewasa ini rasanya semakin sulit menemukan kedisiplinan, baik di jalanan, di
kantor, dan berbagai lembaga atas situasi lain yang memang muncul secara ikhlas
dari dalam hati nurani yang bersih
2. Sikap
tidak peduli terhadap lingkungan hidup, baik lingkungan fisik maupun social.
Gejala perusakan lingkungan, baik yang daoat diperbarui maupun tidak diperbarui
semakin tak terkendali, yang penting mendapatkan keuntungan financial
3. Sikap
hidup konformistik tanpa pemahaman dan kompromistik dengan mengorbankan
prinsip. Kecenderungan untuk mematuhi dan menghormati orang lain semakin
dilandasi bukan oleh hakikat kemanudiaan sejati melainkan hanya karena
atribut-atribut sementara yang dimiliki oleh orang lain.
B. Pengertian
Kemandirian
Istilah
”kemandirian” berasal dari kata dasar diri yang mendapat awalan ”ke” dan akhiran ”an”, kemudian membentuk satu
kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar
”diri”, maka pembahasan mengenai kemandirian tidak bisa lepas darri pembahasan
tentang perkembangan diri itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut
dengan istilah self, karena diri itu merupakan inti dari kemandirian.
Konsep yang sering digunakan atau berdekatan dengan kemandirian adalah autonomy.
Kemandirian itu sendiri berasal dari kata mandiri.
Mandiri adalah keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung kepada orang
lain. Sedangkan kemandirian adalah hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa
bergantung kepada orang lain (Depdikbud, 1999).
Kemandirian meliputi perilaku mampu berinisiatif,
mampu mengatasi hambatan atau masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat
melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.
Kemandirian mengandung pengertian: a) suatu keadaan
dimana seseorang yang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan
dirinya, b) mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah
yang dihadapi, c) memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan
tugas-tugasnya, dan d) bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya.
C.
Tahapan
Perkembangan Kemandirian
Kemandirian semakin
berkembang pada setiap masa perkembangan seiring pertambahan usia dan
pertambahan kemampuan. Perkembangan kemandirian
tersebut diidentifikasikan pada usia 0 – 2 tahun; usia 2 – 6 tahun; usia 6 – 12
tahun; usia 12 – 15 tahun dan pada usia 15 – 18 tahun.
1.
Usia 0 sampai 2 tahun :
Sampai usia dua tahun,
anak masih dalam tahap mengenal lingkungannya, mengembangkan gerak-gerik fisik
dan memulai proses berbicara. Pada tahap ini anak masih sangat bergantung pada
orang tua atau orang dewasa lainnya dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
2.
Usia 2 sampai 6 tahun :
Pada masa ini anak mulai
belajar untuk menajdi manusia sosial dan belajar bergaul. Mereka mengembangkan
otonominya seiring dengan bertambahnya berbagai kemampuan dan keterampilan
seperti keterampilan berlari, memegang, melompat, memasang dan berkata-kata.
Pada masa ini pula anak mulai dikenalkan pada toilet training, yaitu melatih anak dalam buang air kecil atau air besar.
3.
Usia 6 sampai 12 tahun :
Pada masa ini anak
belajar untuk menjalankan kehidupan sehari-harinya secara mandiri dan
bertanggung jawab. Pada masa ini anak belajar di jenjang sekolah dasar. Beban
pelajaran merupakan tuntutan agar anak belajar bertanggung jawab dan mandiri.
4.
Usia 12 sampai 15 tahun :
Pada usia ini anak
menempuh pendidikan di tingkat menengah pertama (SMP). Masa ini merupakan masa
remaja awal di mana mereka sedang mengembangkan jati diri dan melalui proses
pencarian identitas diri. Sehubungan dengan itu pula rasa tanggung jawab dan
kemandirian mengalami proses pertumbuhan.
5.
Usia 15 sampai 18 tahun
Pada usia ini anak
sekolah di tingkat SMA. Mereka sedang mempersiapkan diri menuju proses
pendewasaan diri. Setelah melewati masa pendidikan dasar dan menengahnya mereka
akan melangkah menuju dunia Perguruan Tinggi atau meniti karier, atau justru
menikah. Banyak sekali pilihan bagi mereka. Pada masa ini mereka diharapkan
dapat membuat sendiri pilihan yang sesuai baginya tanpa tergantung pada orangtuanya. Pada masa ini orangtua hanya perlu
mengarahkan dan membimbing anak untuk mempersiapkan diri dalam meniti
perjalanan menuju masa depan.
D.
Bentuk-bentuk
Kemandirian
Robert Havighurst
(1992) membedakan kemandirian atas tiga bentuk kemandirian, yaitu :
- Aspek intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Anak percaya pada kemampuannya sendiri dalam memecahkan masalah, memiliki inisiatif, bersikap kompeten, kreatif, dapat mengambil keputusan sendiri dalam bentuk kemampuan memilih dan bertanggung jawab atas tindakannya.
- Aspek sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung pada aksi orang lain. Anak mampu secara aktif untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Di dalam berinteraksi ini anak mempunyai rasa percaya diri sehingga mampu berpisah dari kelekatan dengan orang tua sehingga anak akan merasa aman meskipun tidak ada orang tua disekitarnya.
- Aspek emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi pada orang lain. Anak mampu mengelola emosinya dan mempunyai kontrol diri yang baik.
- Aspek ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain. Maksudnya bukan berarti anak mampu untuk menghidupi dirinya sendiri tetapi anak mampu secara sederhana untuk mengelola ekonominya sendiri. Contohnya anak mampu untuk mengelola uang saku yang diberikan orang tua, mampu memutuskan apa yang sebaiknya dibeli dan tidak.
E.
Ciri-Ciri
Kemandirian
1.
Percaya diri; ini berarti dia percaya bahwa dia mampu mewujudkan
keinginannya dengan usaha dan kekuatan yang dimilikinya. Percaya diri inilah
yang menjadi sumber kemandirian
2.
Mampu berinisiatif; orang yang mandiri mampu berinisiatif yaitu bertindak
dengan keinginannya sendiri tanpa harus menunggu instruksi orang lain.
3.
Mampu mengatasi masalah atau hambatan; sebagai orang yang mampu
berinisiatif orang yang mandiri mampu mengatasi masalah yang dihadapinya dengan
kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya
4.
Mampu mengerjakan tugas pribadi; berarti dia dapat mengerjakan tugas-tuigas
pribadinya tanpa bantuan orang lain.
5.
Mampu mempertahankan prinsip yang dimiliki dan diyakini
6.
Mampu mengambil keputusan; ketika dihadapkan pada bergagai pilihan dia
dapat menentukan pilihan yang sesuai bagi dirinya sendiri tanpa tergantung pada
orang lain.
7.
Hemat; dia dapat menggunakan uang yang dimiliki sesuai dengan kebutuhannya.
8. Mampu melaksanakan
transaksi ekonomi; orang yang mandiri mengetahui cara melakukan transaksi
ekonomi dan dapat melakukannya.
9. Mempunyai perencanaan
karier di masa depan, termasuk mempunyai cita-cita profesi; yaitu mempunyai
pilihan profesi/cita-cita yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.
10. Bebas secara emosi dari
orang tua; tidak tergantung pada orang tua atau orang dewasa lainnya dalam hal
pemenuhan kebutuhan emosi.
11. Mempunyai kehendak yang
kuat; orang yang mandiri mempunyai tekad yang kuat dan tidak mudah berputus asa
dalam upaya mewujudkan keinginannya.
12. Puas dengan keputusan
sendiri; orang yang mandiri mempertimbangkan manfaat maupun kerugian setiap
keputusan yang diambilnya dan dia merasa puas dengan keputusannya sendiri.
13. Menghargai waktu; orang
yang mandiri akan selalu memanfaatkan waktu dengan baik, mengisi waktunya
dengan kegiatan yang berguna
14. Bertanggung jawab; orang
yang mandiri akan bertanggung jawab dengan apa yang dikerjakannya
15. Mampu menghindari
pengaruh negatif pergaulan
16. Mampu menerima kritik
17. Mampu menerima perbedaan
pendapat
18. Mempunyai hubungan baik
dengan orang lain
F.
Tingkatan
dan Karakteristik Kemandirian
1.
Tingkatan
pertama, adalah tingkat impulsif dan melindungi diri. Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a.
Peduli terhadap control dan keuntungan yang dapat
diperoleh dari interaksinya dengan orang lain.
b. Mengikuti aturan secara oportunistik dan
hedonistik;
c. Berpikir tidak logis dan tertegun pada cara
berpikir tertentu (stereotype ).
d. Cenderung melihat kehidupan sebagai zero-sum game.
e. Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta
lingkungannya.
2. Tingkatan kedua, adalah tingkat konformistik.
Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a. Peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan
social.
b.
Cenderung berpikir stereotype
dan klise.
c. Peduli akan konformitas terhadap aturan ekternal.
d. Bertindak dengan motif yang dangkal untuk
memperoleh pujian
e.
Menyamakan diri dalam ekpresi emosi dan kurangnya introspeksi
f. Perbedaan kelompok didasarkan atas cirri-ciri
eksternal
g. Takut tidak diterima kelompok
h. Tidak sensitif terhadap keindividualan
i. Merasa berdosa jika melanggar.
3.
Tingkatan ketiga, adalah tingkat sadar diri. Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a. Mampu berpikir alternative.
b. Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam
situasi
c. Peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan
yang ada
d. Menekankan pada pentingnya pemecahan masalah
e. Memikirkan cara hidup
f. Penyesuaian terhadap situasi dan peranan
4.
Tingkatan keempat,
adalah tingkat saksama (conscientious).
Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a.
Bertindak atas dasar nilai-nilai internal.
b.
Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku
tindakan
c.
Mampu melihat keragaman emosi,motif, dan perspektif
diri sendiri mau-pun orang lain.
d. Sadar akan tanggung jawab.
e.
Mampu melakukan kritik dan penilaian diri.
f. Peduli akan hubungan mutualistik.
g. Memiliki tujuan jangka panjang.
h.
Cenderung melihat peristiwa dalam konteks social.
i.
Berpikir lebih kompleks dan atas dasar pola analitis.
5.
Tingkatan kelima, adalah tingkat individualistis. Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a. Peningkatan kesadaran individualitas.
b.
Kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian
dengan keter-gantungan.
c.
Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang
lain.
d. Mengenal eksistensi perbedaan individual.
e. Mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam
kehidupan.
f. membedakan kehidupan internal dengan kehidupan
luar dirinya.
g. Mengenal kompleksitas diri.
h. Peduli akan perkembangan dan masalah-masalah
sosial.
6. Tingkatan keenam, adalah tingkat mandiri.
Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a. Memiliki pandangan hidup sebagai suatu
keseluruhan.
b. Cenderung besikap realistik dan objektif terhadap
diri sendiri maupun orang lain.
c. Peduli terhadap pemahaman abstrak, seperti
keadilan social.
d.
Mampu mengintregrasikan nilai-nilai yang bertentangan.
e. Toleran terhadap ambiguitas.
f. Peduli akan pemenuhan diri ( self-fulfilment ).
g. Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal.
h. Responsif terhadap kemandirian orang lain.
i.
Sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang
lain.
j.
Mampu
mengekpresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.
G.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi Kemandirian
1. Gen atau keturunan orang tua.
Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan
anak yang memiliki kemandirian juga. Namun, faktor keturunan ini masih menjadi
perdebatan karena ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya bukan sifat
kemandirian orang tuanya itu menurun kepada anaknya, melainkan sifat orang
tuanya muncul berdasarkan cara orang tua mendidik anaknya.
2.
Umur
Anak mulai menampakkan perilaku mandiri
pada sekitar usia dua sampai tiga tahun. Kemandirian pada usia kanak-kanak
ditandai dengan adanya kemampuan anak untuk dapat makan sendiri, berpakaian
sendiri dan ke kamar mandi sendiri. Anak nantinya akan tumbuh menjadi remaja
dimana ketika usia remaja anak berusaha untuk lepas dari pengawasan orang tua
dan mulai belajar memutuskan sendiri apa yang baik untuknya. Jadi dengan
bertambahnya umur maka seseorang akan semakin tidak tergantung kepada orang
lain dan mampu secara mandiri menentukan arah hidupnya sendiri.
3. Jenis
kelamin
Perbedaan perlakuan yang diberikan oleh
orang tua menyebabkan perbedaan terbentuknya kemandirian antara remaja putra
dengan remaja putri. Perbedaan kemandirian remaja putra dan putri juga
disebabkan karena adanya perbedaan stereotipe bahwa remaja putra dan remaja
putri memiliki peranan yang berbeda di masyarakat. Menurut penelitan Kimmel
(dalam Soetjipto, 1989) menunjukkan bahwa masyarakat menganggap remaja putri
terlihat kurang mandiri daripada remaja putra karena remaja putri lebih
dipandang lebih bersikap kurang percaya diri, tidak ambisius dan sangat
tergantung. Berbeda dengan remaja putra yang dipandang lebih dominan, aktif,
lebih percaya diri dan ambisius. Jadi perbedaan perlakuan dan stereotipe antara
peran pria dan wanita di dalam kehidupan bermasyarakat membuat perbedaan dalam
perkembangan kemandirian antara anak laki-laki dan perempuan.
4. Pola asuh orang tua.
Cara orang tua yang mengasuh atau mendidik anak akan mempengaruhi
perkembangan kemandirian anak. Orang tua yang terlalu banyak melarang atau
mengeluarkan kata “jangan“ kepada anak tanpa disertai penjelasan yang rasional
akan menghambat perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, orang tua yang
menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya akan dapat mendorong
kelancaran perkembangan anak. Demikian juga, orang tua yang cenderung sering
membanding-bandingkan anak yang satu dengan yang lainnya juga akan berpengaruh
kurang baik terhadap perkembangan kemandirian anak.
5. Sistem pendidikan di sekolah. Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengem-bangkan demokratisasi
pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan
menghambat perkembangan kemandirian anak. Demikian juga, proses pendidikan yang
banyak menekankan pentingnya pemberian sanksi atau hukuman (punishment) juga dapat menghambat
perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, proses pendidikan yang lebih
menekankan pentingnya penghargaan terhadap potensi anak, pemberian reward, dam penciptaan kompetisi positif
akan memperlancar perkembangan kemandirian anak.
6. Sistem kehidupan di masyarakat. Sistem kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya
hierarki struktur sosial, merasa kurang aman atau mencekam serta kurang
menghargai manifestasi potensi anak dalam kegiatan produtif dapat menghambat
kelancaran perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, lingkungan masyarakat
yang aman, menghargai ekspresi potensi anak dalam bentuk berba-gai kegiatan,
dan tidak terlalu hierarkis akan merangsang dan mendorong perkembangan
kemandirian anak.
H. Upaya
Pengembangan Kemandirian Peserta Didik dan Implikasinya Bagi Pendidikan
1. Mengembangkan
proses belajar mengajar yang demokratis, yang memungkinkan anak merasa dihargai
2. Mendorong
anak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan dalam berbagai
kegiatan sekolah
3. Memberi
kebebasan kepada anak untuk mengeksplorasi lingkungan, mendorong rasa ingin
tahu mereka
4. Penerimaan
positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-bedakan anak
yang satu dengan yang lain
5.
Menjalin hubungan
yang harmonis dan akrab dengan anak
By Dosen Pengampu : Hendro Widodo, M. Pd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar