Kecerdasan Spiritual
A.
Makna
Kecerdasan Spiritual
Danah Zohar dari Harvard University
dan Ian Marshall dari Oxford
University (2000) adalah yang pertama kali mempopulerkan kecerdasan spiritual,
mengenai ukuran kecerdasan manusia dalam mencapai suatu keberhasilan dalam
menyelesaikan masalah dan beradaptasi dengan lingkungannya terkait erat dengan
kecerdasan spiritual.
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan
hidup seseorang dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk
menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding
dengan yang lain.
Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber
– SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada
setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi
makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan
dan tindakan yang positif.
Zohar dan Marshall (2000) mengungkapkan bahwa setiap manusia memiliki
kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual manusia sudah ada sejak lahir,
sepanjang hidup manusia telah menggunakan kecerdasan spiritual, namun banyak
orang yang tidak menyadari telah menggunakan kecerdasan spiritual. Penemuan
modern menunjuk pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa
dari lahir, sementara sisanya, 58% merupakan hasil dari proses belajar. Zohar
dan Marshall (2000) menguraikan ketiga komponen psikis manusia mempunyai
kecerdasan sendiri - sendiri. Id mempunyai kecerdasan emosional, ego
mempunyai kecerdasan intelektual, dan superego mempunyai kecerdasan
spiritual yang integratif (menyatu). Kecerdasan spiritual diperlukan untuk
memfungsikan kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) secara
efektif.
IQ (Intelligence Quotient) = Cara berpikir untuk mengenali
masalah/teka-teki, mirip dengan IQ diatas. Misalnya, 1+1=?
EQ (Emotional Quotient) = Cara berpikir untuk mengenali emosi/perasaan yang
timbul, mirip dengan EQ diatas. Misalnya, senang, bosan.
SQ (Spiritual Quotient) = Cara berpikir untuk mengetahui alasan dan nilai
dari suatu kejadian/perbuatan. Misalnya perbuatan apakah benar atau salah.
B. Aspek -
aspek Kecerdasan Spiritual
Aspek -
aspek yang kecerdasan spiritual menurut Emmons (Hendrawati, 2004) terbagi
menjadi empat, yaitu :
1.
Memiliki kapasitias transcendence,
yaitu kesanggupan untuk memaknai serta berhubungan dengan sang maha pencipta
2.
Memiliki kemampuan untuk
berada pada keadaan spiritual yang tinggi dalam kesadaran
3.
Memiliki
kemampuan untuk menempatkan aktivitas harian, kejadian - kejadian, serta hubungan
- hubungan dengan perasaan suci atau bersifat ketuhanan
4.
Memiliki
kemampuan untuk memanfaatkan sumber spiritual untuk memecahkan permasalahan -
permasalahan dalam hidup
C. Perbedaan Otak IQ, EQ dan SQ
Otak IQ dasar kerjanya adalah berfikir seri, linear,
logis dan tidak melibatkan perasaan. Keunggulan dari berfikir seri ini adalah
akurat, tepat dan dapat dipercaya. Kelemahannya adalah ia hanya bekerja dalam
batas-batas yang ditentukan, dan menjadi tidak berguna jika seseorang ingin
menggali wawasan baru atau berurusan dengan hal-hal yang terduga.
Otak EQ cara kerjanya berfikir asosiatif. Jenis
pemikiran ini membantu seseorang menciptakan asosiasi antarhal, misalnya antara
lapar dan nasi, antara rumah dan kenyamanan, antara ibu dan cinta, dll. Pada intinya pemikiran ini mencoba membuat asosiasi antara satu emosi dan
yang lain, emosi dan gejala tubuh, emosi dan lingkungan sekitar. Kelebihan cara
berfikir asosiatif adalah bahwa ia dapat berinteraksi dengan pengalaman dan
dapat terus berkembang melalui pengalaman atau eksperimen. Ia dapat mempelajari
cara-cara baru melalui pengalaman yang belum pernah dilakukan sebelumnya,
merupakan jenis pemikiran yang dapat mengenali nuansa ambiguitas. Kelemahan
dari otak EQ adalah variasinya sangat individual dan tidak ada dua orang yang
memiliki kehidupan emosional yang sama. Hal ini tampak dari pernyataan
"saya dapat mengenali emosi anda, saya dapat berempati terhadapnya, tetapi
saya tidak dapat memiliki emosi anda".
Otak SQ cara kerjanya berfikir unitif. Yaitu kemampuan untuk menangkap seluruh
konteks yang mengaitkan antar unsur yang terlibat. Kemampuan untuk menangkap
suatu situasi dan melakukan reaksi terhadapnya, menciptakan pola dan aturan
baru. Kemampuan inimerupakan ciri utama kesadaran, yaitu kemampuan untuk mengalami
dan menggunakan pengalaman tentang makna dan nilai yang lebih tinggi.
Tanda
dari SQ yang berkembang dengan baik :
a.
Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)
b.
Tingkat kesadaran diri yang tinggi
c.
Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
d.
Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
e.
Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
f.
Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
g.
Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (holistik)
h.
Kecenderungan nyata untuk bertanya "mengapa?" atau
"bagaimana jika" untuk mencari jawaban-jawaban mendasar
i.
Mandiri
D. Karakteristik Perkembangan Spiritual remaja
1.
Formal operational religious thought, di mana remaja memperlihatkan pemahaman agama yang lebih abstrak dan
hipotesis
2.
Synthetic-conventional faith, tahap dimana
remaja mulai bersifat konformitas dan melakukan penyesuaian-penyesuaian diri
dengan harapan-harapan sosial. Karena itu, sistem kepercayaan remaja
mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya.
3.
Fenomena keberagamaan remaja juga sering ditandai dengan keraguan beragama.
Peneitian Al-Maliqy menemukan bahwa keraguan remaja pada agama mulai banyak dialami remaja yang
berusia 17 tahun dan kemudian menurun usia 21 tahun.
4.
Keanggotaan dalamm kelompok biasanya setiap individu akan memiliki
reference group yang menjadi pusat aktivitas bagi dirinya. Ikatan yang muncul
dari konsekuensi logis keanggotaannya pada kelompok tersebut, akan dengan
sendirinya mempengaruhi perilaku yang harus ditampilkannya. Teman sebaya
memainkan peranan penting dalam kehidupan remaja dan secara khas menggantikan
keluarga sebagai pusat aktivitas sosial remaja. Begitu juga dalam aktivitas
beragama. Jika kelompok tersebut
membangun iklim beragama yang sehat, maka dimungkinkan individu menjadi
anggotanya akan terdorong untuk melakukan aktivitas agama yang semakin lama
cenderung meningkat.
E. Implikasi Perkembangan Spiritual terhadap Pendidikan
1.
Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulum tersembunyi,
yakni menjadi sekolah sebagai atmosfir moral dan agama secara keseluruhan.
Atmosfir disini termasuk peraturan sekolah dan kelas, sikap terhadap kegiatan
akademik dan ekstrakurikuler, orientasi moral yang dimiliki guru dan pegawai
serta materi teks yang digunakan. Terutama guru dalam hal ini harus mampu
menjadi model tingkah laku yang mencerminkan nilai-nilai moral dan agama.
2.
Memberikan pendidikan moral langsung yakni pendidikan moral dengan
pendekatan pada nilai dan juga sifat selama jangka wakti tertentu atau menyataukan
nilai-nilai dan sifat-sifat tersebut ke dalam kurikulum. Dalam pendekatan ini,
insruksi dalam konsep moral tertentu dapat mengambil bentuk dalam contoh dan
definisi, diskusi kelas dan bermain peran, atau memberi reward kepada siswa
yang berperilaku secara tepat
3.
Memberi pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai, yaitu pendekatan pendidikan moral
tidak langsung yang berfokus pada upaya membantu siswa untuk memperoleh
kejelasan mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk dicari.
Dalam klarifikasi nilai, kepada siswa diberikan pertanyaan atau dilema, dan
mereka diharapkan untuk memberi tanggapan, baik secara individual maupun secara
kelompok. Tujuannya adalah untuk mendorong siswa menentukan nilai mereka
sendiri dan menjadi peka terhadap nilai yang dianut orang lain.
4.
Menjadikan pendidikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk
menghayati agamanya, tidak hanya sekedar bersifat teoritis tetapi penghayatan
yang benar-benar dikonstruksikan dari pengalaman keberagamaan. Dengan pendekatan
demikian, maka yang ditonjolkan dalam pendidikan agama adalah ajaran dasar
agama yang sarat dengan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas, seperti
kedamaian dan keadilan
5.
Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual
parenting, seperti:
a.
Memupuk hubungan sadar anak dengan Tuhan melalui doa setiap hari
b.
Menanyakan kepada anak bagaimana Tuhan terlibat dalam aktivitasnya
sehari-hari
c.
Memberikan kesadaran kepada anak bahwa Tuhan akan membimbing kita apabila
kita meminta
d.
Menyuruh anak merenungka bahwa Tuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara
menjelaskan bahwa mereka tidak dapat melihat
diri mereka tumbuh atau mendegar darah mereka mengalir, tetapi tahu
bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun tidak melihat apapun.
By Dosen Pengampu : Hendro Widodo, M. Pd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar