LAPORAN
PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN
PERTEMUAN
I
TERMOREGULASI
PADA HEWAN ENDOTERM DAN EKTOTERM
Disusun
Oleh:
Nama : Agus Suroto
NIM : 10680034
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013
PERTEMUAN
1:
TERMOREGULASI
PADA HEWAN ENDOTERM DAN EKTODERM
A. Tujuan
1. Membandingkan
metabolisme pada hewan endoterm dan ektoderm.
2. Menentukan Q10 serta hubungannya dengan suhu
B. Dasar
Teori
Homeostasis adalah
suatu kondisi lingkungan internal sel yang mantap dan/atau stabil didalam tubuh.
Salah satu bentuk adanya proses menjaga homoistasis suatu sel oleh makhluk
hidup adalah adanya maekanisme dalam tubuh hewan untuk mempertahankan suhu
internal tubuhnya agar tetap berada di dalam kisaran yang dapat ditolelir atau
yang disebit dengan mekanisme termoregulasi.
Mekanisme
termoregulasi tersebut menjadi penting bagi suatu mahkluk hidup karena suhu
berpengaruh kepada tingkat metabolime. Suhu yang tinggi akan menyebabkan aktivitas
molekul-molekul semakin tinggi karena energi kinetiknya makin besar pula. Akan
tetapi, kenaikan aktivitas dengan metabolisme hanya akan bertambah seiring
dengan kanikan suhu hingga batas tertentu saja. Hal ini disebabkan metabolisme
didalam tubuh diatur oleh enzim (salah satunya) yang
memiliki suhu optimum dalam bekerja. Jika suhu lingkungan atau tubuh meningkat
atau menurun drastis, enzim-enzim tersebut dapat terdenaturasi dan kehilangna
fungsinya.
Pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), pengaturan
cairan tubuh, dan eksresi adalah elemen-elemen dari homoeostasis. Dalam
termoregulasi dikenal adanya hewan berdarah dingin (cold blood animal) dan
hewan berdarah panas (warm blood animal). Namun
lebih dikenal dengan istilah eksoterm dan endoterm yang berhubungan dengan sumber panas utama tubuh hewan.
Hewan ektoterm merupakan hewan yang suhu tubuhnya dipengaruhi
oleh suhu lingkungan sekitarnya. Perolehan panas pada hewan ektoterm tergantung
pada berbagai sumber panas di lingkungna luarnya. Oleh karena itulah, merekan
akan lebih aktive pada saat lingkungan sekitarnya hangat, karena metabolisme
tubuhnya mengalami peningkatan, dan sebaliknya merek akan lebih pasif atau
kekurangan energi pada saat musim dingin karena adanya penurunan metabolisme di
dalam tubuhnya. Contoh hewan ektoterm
adalah ikan, amphibi, dan reptil. Cara adaptasi hewan ektoterm terhadap suhu
lingkungannya adalah sebagai berikut:
1.
Adaptasi
terhadap suhu sangat panas, yaitu meningkatkan laju pendinginan dengan
penguapan, dan mengubah mesin metaboliknya agar bisa bekerja pada suhu tinggi.
2.
Adaptasi
terhadap suhu sangat dingin, yaitu menambah zat terlarut ke dalam cairan
tubuhnya untuk meningkatkan konsentrasi osmotiknya dan menambahkan protein
(glikoprotein) anti beku ke dalam cairan tubuhnya.
Sedangkan hewan
endoterm adalah hewan yang panas tubuhnya berasal dari dalam tubuh, sebagai
hasil dari proses metabolisme sel tubuh. Suhu tubuh endoterm dipertahankan agar
tetap konstan, walaupun suhu lingkungannya selalu berubah .
Hewan endoterm meliputi burung dan mamalia. Cara adaptasi
hewan endoterm terhadap lingkungannya adalah sebagai berikut:
1.
Cara
yang dilakukan hewan endoterm untuk meningkatkan pelepasan panas karena suhu
tubuh terlalu tinggi, yaitu vasolidasi daerah perifer tubuh, berkeringat,
menurunkan laju metabolisme, dan respon perilaku.
2.
Cara
yang dilakukan hewan endoterm untuk mempertahankan/meningkatkan produksi panas
karena suhu tubuhnya terlalu rendah, yaitu vasokonstriksi, menegakkan rambut,
menggigil, meningkatkan laju metabolisme, respon perilaku.
Pada suatu proses
fisiologi, penambahan suhu tubuh yang terjadi pada suatu organisme berhubungan
dengan proses metabolisme yang merupakan reaksi kimia yang sangat kompleks di
dalam tubuh organisme tersebut. Efek penambahan suhu tubuh ini dapat dipelajari
dengan perhitungan matematika sebagai Q10. Q10 ini
merupakan perbandingan antara 2 reaksi metabolisme dengan perbedaan temperatur
10 oC, yang dirumuskan
Dimana reaksi kimia (K) dibagi dalam
2 suhu ( K1 dan K2). Jika laju reaksi terdapat 10 unit/menit dalam suhu 15oC (T1) dan 20
unit/menit dalam 25oC, maka
Q10 merupakan cara yang paling tepat
untuk menunjukkan pengaruh suhu pada laju reaksi/ metabolisme dalam tubuh, tapi
ada cara lain yang lebih baik untuk menjelaskan mekanisme hubungan kedua
variabel tersebut, yaitu dengan Arrhenius
plot. Penambahan suhu juga akan
meningkatkan metabolisme tubuhnya dan juga meningkatkan nilai dari Q10 nya.
Berikut
adalah beberapa faktor yang mempengaruhi proses homestasis suatu organisme,
yaitu:
1.
Usia. Dengan bertambahnya usia
organisme, maka organ yang mengatur keseimbangan akan menurun fungsinya, dengan
begitu hasil untuk kesimbangan pun akan menurun.
2.
Temperatur
lingkungan. Dengan sesuatu organisme banyak terdapat di lingkungan yang panas, maka
akan terjadi proses evaporasi, sehingga dimungkinkan cairan banyak yang keluar.
3.
Makanan
4.
Obat-obatan
5.
Stres. Stres dapat mempengaruhi
beberapa hal diantaranya adalah, Mempengaruhi metabolisme sel, meningkatkan
gula darah, meningkatkan osmotik dan ADH akan meningkatkan sehingga urine
menurun.
6.
Sakit. Misalnya gagal ginjal, maka
organisme akan mengeluarkan cairan yang banyak sehingga dapat menggau
keseimbangan di dalam tubuh organism tersebut.
C. Metode
1. Alat
Alat
yang dipergunakan dalam praktikum ini adalah respirometer, toples, dan
timbangan.
2. Bahan
Bahan
yang dipergunakan dalam praktikum ini adalah KOH 20%, larutan metilen blue,
vaselin, kantong plastik, es, kapas, mencit dan katak.
3. Cara Kerja
D. Data
dan Pembahasan
1. Data Hasil Percobaan
a. Tabel Hasil Percobaan
1) Tabel 1
Hewan Uji : Mencit
Berat Badan : 8,9
gram
|
Hewan Uji : Mencit
Berat badan : 7,2 gram
|
||
T0+10 (Suhu Kamar)
|
T0 (Suhu Dingin)
|
||
Waktu (Menit)
|
O2 yang dikonsumsi
|
Waktu (Menit)
|
O2 yang dikonsumsi
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1
|
0
|
1
|
3
|
2
|
0
|
2
|
1,1
|
3
|
0
|
3
|
1,2
|
4
|
0
|
4
|
1
|
5
|
0
|
5
|
0,8
|
6
|
2
|
6
|
0,4
|
7
|
0
|
7
|
0,4
|
8
|
3
|
8
|
0,2
|
9
|
0
|
9
|
0,5
|
10
|
0
|
10
|
0,4
|
2) Tabel 2
Hewan Uji : Katak
Berat Badan : 6,35
gram
|
Hewan Uji : Katak
Berat badan : 5,4 gram
|
||
T0+10 (Suhu Kamar)
|
T0 (Suhu Dingin)
|
||
Waktu (Menit)
|
O2 yang dikonsumsi
|
Waktu (Menit)
|
O2 yang dikonsumsi
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1
|
0
|
1
|
1
|
2
|
1
|
2
|
0
|
3
|
0
|
3
|
0
|
4
|
0
|
4
|
0
|
5
|
0
|
5
|
0
|
6
|
0,2
|
6
|
0
|
7
|
0
|
7
|
0
|
8
|
0,6
|
8
|
0
|
9
|
0
|
9
|
0
|
10
|
0
|
10
|
0
|
3) Tabel 3
Hewan Uji
|
Berat Badan (gram)
|
Konsum Oksigen (ml)
|
Laju Konsumsi Oksigen (ml/g BB/jam)
|
Q10
|
Suhu
|
Perilaku
|
Mencit Hangat
|
8,9
|
5
|
3,37
|
0,45
|
30
|
Stabil
|
Mencit Dingin
|
7,2
|
9
|
7,5
|
20
|
Aktive Menurun
|
|
Katak Hangat
|
6,35
|
1,8
|
1,7
|
1,54
|
30
|
Diam
|
Katak Dingin
|
5,4
|
1
|
1,1
|
23
|
Lemes
|
b. Grafik Hasil Percobaan
1) Grafik perbandingan jumlah konsumsi oksigen oleh katak
dan mencit pada suhu hangat terhadap satuan waktu
2) Grafik perbandingan jumlah konsumsi oksigen oleh katak
dan mencit pada suhu dingin terhadap satuan waktu
3) Grafik perbandingan laju konsumsi oksigen oleh katak dan
mencit pada suhu dingin terhadap satuan waktu
4) Grafik perbandingan laju konsumsi oksigen oleh katak dan
mencit pada suhu hangat terhadap satuan waktu
2. Pembahasan
Praktikum ini merupakan praktikum tentang termoregulasi
yang terjadi di dalam tubuh hewan endoterm dan ektoderm. Hewan endoderm di
wakili oleh mencit dan hewan ektoderm diwakili oleh katak.
Prinsip kerja dari praktikum ini cukup sederhana, yaitu
dengan memasukkan hewan uji (katak dan mencit) ke dalam respirometer. Kemudian
dihitung banyaknya volume oksigen yang dikonsumsi dengan melihat pergeseran
siring. Selanjutnya dilakukan perhitungan guna menentukan nilai laju konsumsi
oksigen dan nilai Q10.
Pada proses praktikum juga dilakukan berbagai perlakuan
seperti dilakukan penimbangan berat badan untuk mengetahui berat badannya,
selain itu dilakukan juga penambahan kapas dengan KOH 20%, hal ini bertujuan untuk
mengikat CO2 yang dihasilkan oleh hewan uji yang berada di dalam respirometer, sehingga
pergerakan dari larutan metilen
blue
benar-benar hanya disebabkan oleh konsumsi oksigen. Adapun reaksi yang terjadi
antara KOH dengan CO2 adalah sebagai berikut:
KOH + CO2 → K2CO3
+ H2O
Oksigen
yang dikunsumsi oleh hewan uji menyebabkan perbedaan tekanan udara dalam pipa,
dan menyebabkan pergerakan larutan metilen
blue.
Besarnya pergerakan larutan metilen
blue
itulah yang digunakan dalam perhitungan konsumsi oksigen hewan tersebut.
Adanya termometer pada rangakaiian respirometer berfungsi
untuk mengukur suhu lingkungan dalam tabung kontrol dan tabung spesimen. Dan Shiring berfungsi untuk pembacaan skala ml
konsumsi oksigen sedangkan vaselin digunakan untuk menutup permukaan agar tidak
terjadi kebocoran, dan mengkondisikan agar tabung kedap udara. Sedangkan es
batu yang berada dalam toples berfungsi untuk mengkondisikan suhu lingkungan
terutama meberikan perlakuan suhu dingin.
Berbagai perlakuan suhu yang diberikan kepada hewan uji
memberikan respon yang berbeda yang berupa perilaku dari masing-masing hewan
uji dengan masing-masing perlakuannya. Pada mencit yang diberi perlakuan suhu
hangat cenderung stabil. Hal ini menunjukan bahwa suhu hangat tidak akan mempengaruhi
kondisi suhu internal tubuh mencit, karena suhu tubuh mencit selaku hewan
endoterm tidak begitu terpengaruh oleh suhu yang berada di lingkungan
sekitarnya, sehingga hal tersebut juga tidak terlalu mengganggu metabolisme
dari dalam tubuhnya sebagai sumber panas tubuh. Sedangkan pada mencit yang
diberi perlakuan suhu dingin menunjukan perilaku yang aktive tapi menurun. Itu
artinya bahwa suhu dingin lingkungan yang diberikan berpengaruh terhadap suhu
internal tubuhnya, walaupun pengaruhnya tidak bergitu besar, akan tetapi tidak
sampai menyebabkan kekurangan energi pada tubuh hewan ( tetap stabil). Walaupun
suhu tubuh hewan endoderm tidak tergantung pada suhu lingkungan sehingga
metabolismenya cenderung stabil, tetapi apabila perubahan suhu tersebut terlalu
ekstrim akan dapat mempengaruhi suhu internal tubuhnya, karena sumber panas
hewan endoterm berasal dari keberlangsungan metabolisme dalam tubuhnya. Dimana
metabolisme tersebut dikaltalis oleh bebagai jenis enzim. Enzim tersebut
merupakan senyawa yang sangat rentan,bahkan dapat menyebabkan denaturasi
terhadap adanya perubahan suhu yang terlalu ekstrim, baik terlau panas maupun
terlalu dingin. Sehingga apabila enzim tersebut rusak maka metabolisme sebagai
penghasil panas akan terganggu yang dapat mempengaruhi suhu internal tubuh
hewan tersebut.
Pada katak yang diberi perlakuan suhu hangat menunjukan
perilaku yang cenderung diam. Hal ini menunjukkan hal yang tidak sesuai dengan
teori yaitu bahwa pada suhu hangat atau panas hewan ektoterm seharusnya akan
lebih aktive karena aktivitas metabolismenya menjadi lebih tinggi juga. Karena
pada hewan ektoterm suhu internal tubuhnya akan bergantung pada suhu lingkungan
sekitarnya. Ketidak sesuain dengan teori ini terjadi karena dimungkinkan hewan
yang digunakan telah digunakan sebagai hewan uji juga, sehingga hewan sudah
kelelahan ketika digunakan kembali. Sedangkan pada katak yang diberikan
perlakuan suhu dingin menunjukan kondisi atau perilaku yang cenderung lemas. Hal
ini terjadi karena pada kondisi lingkungan yang dingin metabolisme hewan
ektoterm akan cenderung lambat. Sehingga hewan akan lemas karena kekurangan
energi , sebagai akaibat lambatnya laju metabolismenya tersebut.
Pemberian perlakuan suhu tersebut juga berpengaruh
terhadap laju konsumsi oksigen hewan uji, terutama katak selaku hewan ektoterm.
Hal
ini berkaitan dengan hukum Van’t Hoff, dimana Q10 = K (T+10) + K/T. Rumus ini
menunjukan bahwa kenaikan suhu, kecepatan reaksi akan bertambah besar sampai
batas tertentu. Hal ini berkaitan dengan kinetika reaksi, dimana panas akan
menyebabkan energi kinetik molekul menjadi bertambah besar, sehingga reaksi
dapat berlangsung dengan lebih cepat.
Suhu
yang semakin tinggi mempengaruhi tingkat respirasi yang ditandai dengan
konsumsi oksigen yang juga semakin meningkat, yang berarti bahwa semakin tinggi suhu akan semakin
tinggi laju konsumsi oksigen suatu hewan. Tingkat konsumsi
oksigen yang tinggi menandakan bahwa hewan memerlukan banyak oksigen untuk melakukan metabolisme yang terjadi dengan cepat di
dalam tubuhnnya untuk menghasilkan energi lebih banyak yang dibutuhkan oleh hewan tersebut.
Akan tetapi, tidak semua data hasil percobaan menunjukan
kesesuaian dengan teori. Yaitu pada hewan uji mencit menunjukan bahwa laju
konsumsi oksigen pada suhu hangat justru lebih rendah dari pada laju konsumsi
oksigen mencit pada suhu dingin. Pada suhu hangat laju konsumsi oksigen mencit
sebesar 3,37 ml/g BB/jam dan pada suhu dingin laju
konsumsi oksigen mencit sebesar 7,5 ml/g BB/jam. Ketidak
sesuain ini terjadi karena dimungkinkan terjadi kebocoran dalam rangkaian
respirometer sehingga oksigen di luar rangkaian masuk dan ikut terukur atau KOH
tidak mengikat CO2 dengan sempurna baik karena kurangnya KOH
tersebut atau disebabkan hal lain, sehingga CO2 tersebut ikut
terukur besamaan dengan O2 yang berdampak pada menambahnya nilai
hasil pengukuran terhadap volume O2 yang dikonsumsi hewan. Akan
tetapi, hal tersebut bisa saja menjadi wajar atau tidak dikatakan sebagai suatu
kesalahan, karena mencit merupakan hewan endoterm. Dimana suhu internal
tubuhnya tidak dipengaruhi oleh suhu lingkungannya dan hewan
endoterm laju metabolisme
tubuhnya lebih ditentukan oleh nutrisi untuk menghasikan energi dalam proses
metabolismenya. Sehingga perubahan
suhu di lingkungannya tidak akan terlalu berpengaruh terhadap
laju konsumsi oksigen atau proses metabolismenya.
Sedangkan pada katak sudah menunjukan suatu kesesuaian
dengan teori yaitu bahwa laju konsumsi oksigen pada suhu hangat lebih tinggi
dari pada laju konsumsi oksigen pada
suhu rendah. Laju konsumsi oksigen pada suhu hangat yaitu sebesar 1,7 ml/g
BB/jam, sedangkan Laju konsumsi oksigen pada suhu dingin sebesar 1,1 ml/g BB/jam. Hal tersebut terjadi karena
memang suhu internal tubuh hewan ektoterm di pengaruhi oleh suhu
lingkungan yang ada disekitarnya,
sehingga meningkatnya suhu akan meningkatkan laju konsumsi oksigen atau laju metabolisme
tubuhnya.
Selain suhu, laju konsumsi oksigen suatu organisme/ hewan
juga dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu sebagai berikut:
1.
Spesies
Hewan
Perbedaan jenis/
spesies hewan akan sangat mempengaruhi perbedaan laju konsumsi oksigen, karena
perbedaan jenis tentu saja menunjukan perbedaan karakter morfologis dan
fisiologis hewan tersebut.
2.
Aktivitas
Aktifitas sangat
mempengaruhi laju konsumsi oksigen baik pada hewan endoterm maupun ektoterm.
Hal ini dapat dilihat bahwa saat aktif,
oksigen yang dikonsumsi akan lebih besar dibandingkan saat inaktif. Hal ini
dikarenakan pada saat aktif, sel-sel tubuh memerlukan lebih banyak energi, dan
karena itu lebih banyak oksigen.
3.
Ukuran
Tubuh
Ukuran
tubuh juga menentukan besarnya laju konsumsi oksigen . Untuk hewan endoterm, hewan yang
berukuran tubuh kecil akan memiliki laju konsumsi oksigen per unit massa yang
lebih besar dibanding hewan yang berukuran lebih besar.
Setalah dilakukan perhitungan didapatkan nilai Q10 pada
masing-masing hewan ujinya, yaitu sebagai berikut: nilai Q10 katak sebesar 1,54
dan nilai Q10 mencit sebesar 0,45. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa
katak memiliki nilai Q10 yang lebih besar dari pada nilai Q10 pada mencit. Hal
ini terjadi karena, pada hewan ektoterm yang diwakili katak kondisi lingkungan sekitarnya (luar
tubuhnya) akan mempengaruhi aktifitas fisiologis di dalam tubuhnya, sehingga
perubahan suhu tersebut akan mempengaruhi laju konsumsi oksigen atau proses
metabolismenya. Sedangkan pada hewan endoderm yang diwakili oleh mencit,
perubahan suhu pada lingkungan sekitarnya (dalam
kisaran tertentu) tidak akan begitu berpengaruh tehadap suhu internal tubuhnya,
sehingga aktifitas internal tubuhnya cenderung stabil begitu juga dengan laju
konsumsi oksigennya atau proses metabolismenya.
Penambahan suhu juga akan berpengaruh terhadap meningkatkan nilai dari Q10
nya. Pada suatu proses fisiologi, penambahan suhu tubuh yang terjadi
pada suatu organisme berhubungan dengan proses metabolisme yang merupakan
reaksi kimia yang sangat kompleks di dalam tubuh organisme tersebut dan Q10 ini
merupakan perbandingan antara 2 reaksi metabolisme dengan perbedaan temperatur
10 oC.
Aktivitas
metabolisme pada tubuh hewan akan mempengarhui suhu internal tubuhnya terutama
pada hewan endoterm dan juga hewan ektoderm, walau hanya sedikit pengaruhnya. Aktivitas
metabolisme tubuh yang tinggi, akan menyebabkan peningkatan suhu pada internal
tubuhnya. Sehingga jika panas tubuh yang terlalu tinggi maka perlu adanya suatu
proses termoregulasi untuk menjaga agar suhu tubuh hewan tersebut tetap stabil.
Begitu pula sebaliknya, apabila aktivitas metabolisme tubuhnya rendah atau
lambat, maka penghasilan panas tubuhnya pun akan terlalu rendah. Akibatnya
panas tubuh internalnya rendah, sehingga apabila hal tersebut terjadi maka akan
diperlukan adanya proses termoregulasi.
E. Kesimpulan
1. Metabolisme pada hewan endoderm (mencit) akan cenderung
stabil pada suhu hangat maupun suhu
dingin (masih di batas suhu tolelir). Sedangkan pada hewan ektoterm (katak),
saat kondisi lingkungan hangat metabolismenya meningkat dan saat lingkungannya
dingin metabolismenya rendah.
2. Nilai Q10 hasil percobaan adalah sebagai berikut:
a. Hewan endoderm (mencit) =
0,45
b. Hewan ektoterm (katak) =
1,54
Peningkatan
suhu dapat meningkatkan nilai Q10 atau semakin tinggi suhu semakin besar nilai
Q10.
F. Daftar
Pustaka
Campbell, dkk. 2004. Biologi
jilid 3. Jakarta: Erlangga
Chang, R. 1996. Essential Chemistry.Mc Graw Hill Company, Inc, USA.Fujaya
Eckert,
R. 1983. Animal Energetics and Temperature in: Animal Physiology Mechansm
and Adaptation. 2nd Edition. WH Freeman and Company. New York.
Goenarso,
Darmadi. 2005. Fisiologi Hewan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Isnaeni,
Wiwi. 2006. Fisiologi
Hewan. Yogyakarta: Kanisius
Kay, Ian. 1998. Introduction To Animal Physiology. Manchester: Bios Scientifik Publisher
Wahhh... ada adik kelas nih... Salam ya bwt mbak Purwanti di Lab... itu kwan saya hehe...
BalasHapusSummer in qassim is hot but in winter it usually rains and weatheris beautiful.
BalasHapusQassim & QU